PRINSIP DA'WAH DALAM AL QUR'AN
Pengertian dan Tujuan Da'wah
Da'wah Secara lughawi berasal dari bahasa Arab, da'wah yang artinya seruan, panggilan, undangan. Secara istilah, kata da'wah berarti menyeru atau mengajak manusia untuk melakukan kebaikan dan menuruti petunjuk, menyuruh berbuat kebajikan dan melarang perbuatan munkar yang dilarang oleh Allah Swt. dan rasul-Nya agar manusia mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Syaikh Ali Mahfuzh -murid Syaikh Muhammad Abduh- sebagai pencetus gagasan dan penyusunan pola ilmiah ilmu da'wah memberi batasan mengenai da'wah sebagai: "Membangkitkan kesadaran manusia di atas kebaikan dan bimbingan, menyuruh berbuat ma'ruf dan maencegah dari perbuatan yang munkar, supaya mereka memperoleh keberuntungan kebahagiaan di dunia dan di akhirat."
Da'wah adalah usaha penyebaran pemerataan ajaran agama di samping amar ma'ruf dan nahi munkar. Terhadap umat Islam yang telah melaksanakan risalah Nabi lewat tiga macam metode yang paling pokok yakni da'wah, amar ma'ruf, dan nahi munkar, Allah memberi mereka predikat sebagai umat yang berbahagia atau umat yang menang .
Adapun mengenai tujuan da'wah, yaitu: pertama, mengubah pandangan hidup. Dalam QS. Al Anfal: 24 di sana di siratkan bahwa yang menjadi maksud dari da'wah adalah menyadarkan manusia akan arti hidup yang sebenarnya. Hidup bukanlah makan, minum dan tidur saja. Manusia dituntut untuk mampu memaknai hidup yang dijalaninya.
Kedua, mengeluarkan manusia dari gelap-gulita menuju terang-benderang. Ini diterangkan dalam firman Allah: "Inilah kitab yang kami turunkan kepadamu untuk mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada terang-benderang dengan izin Tuhan mereka kepada jalan yang perkasa, lagi terpuji." (QS. Ibrahim: 1)
Urgensi dan Strategi Amar ma'ruf Nahi munkar
Dalam Al-Qur'an dijumpai lafadz "amar ma'ruf nahi munkar" pada beberapa tempat. Sebagai contoh dalam QS. Ali Imran: 104: "Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung". Hasbi Ash Siddieqy menafsirkan ayat ini: "Hendaklah ada di antara kamu suatu golongan yang menyelesaikan urusan dawah, menyuruh ma'ruf (segala yang dipandang baik oleh syara` dan akal) dan mencegah yang munkar (segala yang dipandang tidak baik oleh syara` dan akal) mereka itulah orang yang beruntung."
Dalam ayat lain disebutkan "Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan bagi umat manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah" (QS. Ali Imran: 110). Lafadz amar ma'ruf dan nahi munkar tersebut juga bisa ditemukan dalam QS. At Taubah: 71, Al Hajj: 41, Al-A'raf: 165, Al Maidah: 78-79 serta masih banyak lagi dalam surat yang lain.
Bila dicermati, ayat-ayat di atas menyiratkan bahwa amar ma'ruf nahi munkar merupakan perkara yang benar-benar urgen dan harus diimplementasikan dalam realitas kehidupan masyarakat. Secara global ayat-ayat tersebut menganjurkan terbentuknya suatu kelompok atau segolongan umat yang intens mengajak kepada kebaikan dan mencegah dari kejelekan. Kelompok tersebut bisa berupa sebuah organisasi, badan hukum, partai ataupun hanya sekedar kumpulan individu-individu yang sevisi. Anjuran tersebut juga dikuatkan dengan hadits Rasulullah: "Jika kamu melihat umatku takut berkata kepada orang dzhalim, 'Hai dzhalim!', maka ucapkan selamat tinggal untuknya."
Dari ayat-ayat di muka dapat ditangkap bahwa amar ma'ruf dan nahi munkar merupakan salah satu parameter yang digunakan oleh Allah dalam menilai kualitas suatu umat. Ketika mengangkat kualitas derajat suatu kaum ke dalam tingkatan yang tertinggi Allah berfirman: "Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk umat manusia." Kemudian Allah menjelaskan alasan kebaikan itu pada kelanjutan ayat: "Menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar." (QS. Ali Imran: 110). Demikian juga dalam mengklasifikasikan suatu umat ke dalam derajat yang serendah-rendahnya, Allah menggunakan eksistensi amar ma'ruf nahi munkar sebagai parameter utama. Allah Swt. berfirman: "Telah dila'nati orang-orang kafir dari Bani Isra'il melalui lisan Daud dan Isa putera Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat." (QS. Al Maidah 78-79). Dari sinipun sebenarnya sudah bisa dipahami sejauh mana tingkat urgensitas amar ma'ruf nahi munkar.
Bila kandungan ayat-ayat amar ma'ruf nahi munkar dicermati, -terutama ayat 104 dari QS. Ali Imran- dapat diketahui bahwa lafadz amar ma'ruf dan nahi munkar lebih didahulukan dari lafadz iman, padahal iman adalah sumber dari segala rupa taat. Hal ini dikarenakan amar ma'ruf nahi munkar adalah bentengnya iman, dan hanya dengannya iman akan terpelihara. Di samping itu, keimanan adalah perbuatan individual yang akibat langsungnya hanya kembali kepada diri si pelaku, sedangkan amar ma'ruf nahi munkar adalah perbuatan yang berdimensi sosial yang dampaknya akan mengenai seluruh masyarakat dan juga merupakan hak bagi seluruh masyarakat.
Hamka berpendapat bahwa pokok dari amar ma'ruf adalah mentauhidkan Allah, Tuhan semesta alam. Sedangkan pokok dari nahi munkar adalah mencegah syirik kepada Allah. Implementasi amar ma'ruf nahi munkar ini pada dasarnya sejalan dengan pendapat khalayak yang dalam bahasa umumnya disebut dengan public opinion, sebab al ma'ruf adalah apa-apa yang disukai dan diingini oleh khalayak, sedang al munkar adalah segala apa yang tidak diingini oleh khalayak. Namun kelalaian dalam ber-amar ma'ruf telah memberikan kesempatan bagi timbulnya opini yang salah, sehingga yang ma'ruf terlihat sebagai kemunkaran dan yang munkar tampak sebagai hal yang ma'ruf.
Konsisnten dalam ber-amar ma'ruf nahi munkar adalah sangat penting dan merupakan suatu keharusan, sebab jika ditinggalkan oleh semua individu dalam sebuah masyarakat akan berakibat fatal yang ujung-ujungnya berakhir dengan hancurnya sistem dan tatanan masyarakat itu sendiri. Harus disadari bahwa masyarakat itu layaknya sebuah bangunan. Jika ada gangguan yang muncul di salah satu bagian, amar ma'ruf nahi munkar harus senantiasa diterapkan sebagai tindakan preventif melawan kerusakan. Mengenai hal ini Rasulullah Saw. memberikan tamsil: "Permisalan orang-orang yang mematuhi larangan Allah dan yang melanggar, ibarat suatu kaum yang berundi di dalam kapal. Di antara mereka ada yang di bawah. Orang-orang yang ada di bawah jika hendak mengambil air harus melawati orang-orang yang ada di atas meraka. Akhirnya mereka berkata 'Jika kita melubangi kapal bagian kita, niscaya kita tidak akan mengganggu orang yang di atas kita'. Jika orang yang di atas membiarkan mereka melubangi kapal, niscaya semua akan binasa. Tetapi jika orang yang di atas mencegah, maka mereka dan semuannya akan selamat."
Suatu kaum yang senantiasa berpegang teguh pada prinsip ber-amar ma'ruf nahi munkar akan mendapatkan balasan dan pahala dari Allah Swt. yang antara lain berupa:
1. Ditinggikan derajatnya ke tingkatan yang setinggi-tingginya (QS. Ali Imran: 110).
2. Terhindar dari kebinasaan sebagaimana dibinasakannya Fir'aun beserta orang-orang yang berdiam diri ketika melihat kedzalimannya.
3. Mendapatkan pahala berlipat dari Allah sebagaimana sabda Nabi Saw.: "Barangsiapa yang mengajak kepada kebaikan, maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya sampai hari kiamat, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun".
4. Terhindar dari laknat Allah sebagai mana yang terjadi pada Bani Isra'il karena keengganan mereka dalam mencegah kemunkaran. (QS. Al-Maidah: 78-79).
Secara prinsipil seorang Muslim dituntut untuk tegas dalam menyampaikan kebenaran dan melarang dari kemunkaran. Rasul Saw. bersabda: "Barang siapa di antara kamu menjumpai kemunkaran maka hendaklah ia rubah dengan tangan (kekuasaan)nya, apabila tidak mampu hendaklah dengan lisannya, dan jika masih belum mampu hendaklah ia menolak dengan hatinya. Dan (dengan hatinya) itu adalah selemah-lemahnya iman". Hadits ini memberikan dorongan kepada orang Muslim untuk ber-amar ma'ruf dengan kekuasaan dalam arti kedudukan dan kemampuan fisik dan kemampuan finansial. Amar ma'ruf dan khususnya nahi munkar minimal diamalkan dengan lisan melalui nasihat yang baik, ceramah-ceramah, ataupun khutbah-khutbah, sebab semua. Muslim tentunya tidak ingin bila hanya termasuk di dalam golongan yang lemah imannya.
Da'wah dan amar ma'ruf nahi munkar dengan metode yang tepat akan menghantarkan dan menyajikan ajaran Islam secara sempurna. Metode yang di terapkan dalam menyampaikan amar ma'ruf nahi munkar tersebut sebenarnya akan terus berubah-ubah sesuai dengan kondisi dan situasi masyarakat yang dihadapi para da'i. Amar ma'ruf dan nahi munkar tidak bertujuan memperkosa fitrah seseorang untuk tunduk dan senantiasa mengikuti tanpa mengetahui hujjah yang dipakai, tetapi untuk memberikan koreksi dan membangkitkan kesadaran dalam diri seseorang akan kesalahan dan kekurangan yang dimiliki.
Ketegasan dalam menyampaikan amar ma'ruf dan nahi munkar bukan berarti menghalalkan cara-cara yang radikal. Implementasinya harus dengan strategi yang halus dan menggunakan metode tadarruj (bertahap) agar tidak menimbulkan permusuhan dan keresahan di masyarakat. Penentuan strategi dan metode amar ma'ruf nahi munkar harus mempertimbangkan kondisi sosial masyarakat yang dihadapi. Jangan sampai hanya karena kesalahan kecil dalam menyampaikan amar ma'ruf nahi munkar justru mengakibatkan kerusakan dalam satu umat dengan social cost yang tinggi.
Dalam menyampaikan amar ma'ruf nahi munkar hendaknya memperhatikan beberapa poin yang insya Allah bisa diterapkan dalam berbagai bentuk masyarakat:
1. Hendaknya amar ma'ruf nahi munkar dilakukan dengan cara yang ihsan agar tidak berubah menjadi penelanjangan aib dan menyinggung perasaan orang lain. Ingatlah ketika Allah berfirman kepada Musa dan Harun agar berbicara dengan lembut kepada Fir'aun (QS. Thaha: 44).
2. Islam adalah agama yang berdimensi individual dan sosial, maka sebelum memperbaiki orang lain seorang Muslim dituntut berintrospeksi dan berbenah diri, sebab cara amar ma'ruf yang baik adalah yang diiringi dengan keteladanan.
3. Menyampaikan amar ma'ruf nahi munkar disandarkan kepada keihklasan karena mengharap ridla Allah, bukan mencari popularitas dan dukungan politik.
4. Amar ma'ruf nahi munkar dilakukan menurut Al-Qur'an dan Al-Sunnah, serta diimplementasikan di dalam masyarakat secara berkesinambungan.
Dalam menyampaikan da'wah amar ma'ruf nahi munkar, para da'i dituntut memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi, baik kepada Allah maupun masyarakat dan negara. Bertanggung jawab kepada Allah dalam arti bahwa da'wah yang ia lakukan harus benar-benar ikhlas dan sejalan dengan apa yang telah digariskan oleh Al Qur'an dan Sunnah. Bertanggung jawab kepada masyarakat atau umat menganduang arti bahwa da'wah Islamiyah memberikan kontribusi positif bagi kehidupan sosial umat yang bersangkutan. Bertanggung jawab kepada negara mengandung arti bahwa pengemban risalah senantiasa memperhatikan kaidah hukum yang berlaku di negara dimana ia berda'wah. Jika da'wah dilakukan tanpa mengindahkan hukum positif yang berlaku dalam sebuah negara, maka kelancaran da'wah itu sendiri akan terhambat dan bisa kehilangan simpati dari masyarakat.
Sabtu, 05 Februari 2011
Media dakwah
Mimbar
Mimbar merupakan media dakwah yang paling populer dimasyarakat, baik masyarakat pinggiran maupun masyarakat perkotaan. Mimbar biasa digunakan pada saat khutbah Jum'at, Idul Fitri, Idul Adha dan pengajian-pengajian hari besar Islam baik di Kampung maupun di masjid-masjid, bahkan di hotel-hotel atau di gedung-gedung.
Tujuan khutbah dengan menggunakan mimbar adalah agar jama'ah dapat lebih terfokus pada satu pandangan. Mimbar biasanya di buat lebih tinggi dari lantai dengan tujuan agar penceramah bisa melihat secara langsung kepada jama'ah. Masjid-masjid besar biasanya menyediakan media elektronik diluar masjid dengan tujuan agar jama'ah yang berada diluar masjid tetap dapat melihat yang khutbah.
Dari segi model mimbar ada dua macam, yaitu: Mimbar bertangga (terbuka) dan mimbar tidak bertangga (tertutup). Mimbar yang memiliki tangga biasanya yang khutbah membawa tongkat sedangkan mimbar yang tidak bertangga yang khutbah tidak membawa tongkat.
Media Cetak
Media cetak pada era dewasa ini telah bermunculan bagaikan munculnya jamur di musim hujan. Baik majalah, koran ataupun buletin lainnya. Hal ini merupakan wujud nyata dari sebuah era informasi dan keterbukaan. Oleh sebab itu alangkah baiknya jika para muballigh mampu memanfaatkan media-media cetak yang ada itu di sebagai sarana untuk merdakwah.
Melihat persaingan media cetak yang begitu hebat, maka para muballigh kita hendaknya segera menyiapkan diri untuk menjadi penulis-pebulis handal sehingga mampu bersaing dalam amar ma'ruf nahi munkar di bidang mediacetak, mengingat media cetak merupakan media informasi yang cukup banyak peminatnya.
Media cetak yang berkembang selama ini lebih berpegang pada keterbukaan dan kebebasannya. Mereka dipacu oleh kebutuhan sensasi, iklan dan kebutuhan bisnisnya. Dan inilah prablem besar bagi para pelaku dakwah selama ini.
Radio
Radio merupakan media informasi yang hingga sekarang masih memiliki cukup banyak pemirsa. Mengingat radio merupakan alat informasi yang fleksibel, kecil dan dapat dibawa kemana-mana. Oleh sebab itu alangkah bermanfaat jika radio penuh dengan siaran-siarang yang mengajak kepada pemirsa untuk menjalankan kebaikan serta meninggalkan keburukan (amar ma'ruf nahi munkar )
Pesawat radio sering kali kita jumpai diputar semalam suntuk di warung-warung kopi, pos-pos jaga serta mobil-mobil, bahkan tidak jarang tukang becak selalu memutar radio sambil menunggu penumpang. Oleh sebab itu alangkah bermanfaatnya jika radio-radio yang diputar selalu membawa pesan dakwah.
Televisi
Televisi merupakan media informasi sekaligus media hiburan yang dapat di jumpai dimana-mana, baik di rumah kecil maupun di rumah mewah, baik di warung-warung kopi maupun di restauran-restauran.
Televisi merupankan media informasi yang bersifat netral, seperti pistol. Jika pistol di tangan orang jahat, maka pistol akan gunakan untuk menembak orang yang tidak bersalah. Namun jika pistol itu ditangan polisi yang beriman dan bijak, maka pistol itu akan digunakan untuk melindungi orang-orang benar.
Televisi merupakan media audio-visual, yang juga sering disebut sebagai media pandang dengar. Artinya televisi itu selain dapat kita dengar juga bisa kita lihat secara langsung. Oleh sebab itu alangkah besar manfaatnya jika televisi itu lebih banyak menyuguhkan siaran-siaran yang mampu merubah kondisi pemirsa dari kondisi yang tidak baik menjadi kondisi yang lebih baik.
Celluler
Celluler merupakan media informasi yang cukup canggih dan gaul. Hal ini nampak dari begitu banyaknya pemakai celluler, mulai dari pengusaha kelas atas hingga pengusaha kelas bawah, bahkan tidak sedikit para remaja pengangguranpun, pelajar yang mereka belum memiliki panghasilan yang menggunakan celluler.
Melihat begitu semaraknya celluler, maka alangkah besar manfaatnya jika celluler dimanfaatkan sebagai media dakwah, yaitu dengan cara memanfaatkan fasilitas Multimedia Messaging Service (mms) sebagai media untuk mengirin pesan-pesan normatif . Dengan ber-mms- kita dapat berdakwah dengan biaya yang murah.
Film
Film dapat memberikan pengaruh yang cukup besar kepada jiwa manusia yang sedang memirsanya. Di saat sedang menonton film, terjadi suatu gejala yang menurut ilmu jiwa sosial sebagai identifikasi psikologis. Ketika proses decoding terjadi, para penonton kerap menyamakan atau meniru seluruh pribadinya dengan salah seorang peran film.
Melihat pengaruh film begitu besar kepada jiwa yang sedang menontonnya, maka alangkah besar manfaatnya film itu, jika dijadikan sewbagai media untuk berdakwah.
Selain media-media yang penulis sebutkan di atas, masih banyak media-media lain yang dapat kita jadikan sebagai sarana untuk berdakwah
Mimbar merupakan media dakwah yang paling populer dimasyarakat, baik masyarakat pinggiran maupun masyarakat perkotaan. Mimbar biasa digunakan pada saat khutbah Jum'at, Idul Fitri, Idul Adha dan pengajian-pengajian hari besar Islam baik di Kampung maupun di masjid-masjid, bahkan di hotel-hotel atau di gedung-gedung.
Tujuan khutbah dengan menggunakan mimbar adalah agar jama'ah dapat lebih terfokus pada satu pandangan. Mimbar biasanya di buat lebih tinggi dari lantai dengan tujuan agar penceramah bisa melihat secara langsung kepada jama'ah. Masjid-masjid besar biasanya menyediakan media elektronik diluar masjid dengan tujuan agar jama'ah yang berada diluar masjid tetap dapat melihat yang khutbah.
Dari segi model mimbar ada dua macam, yaitu: Mimbar bertangga (terbuka) dan mimbar tidak bertangga (tertutup). Mimbar yang memiliki tangga biasanya yang khutbah membawa tongkat sedangkan mimbar yang tidak bertangga yang khutbah tidak membawa tongkat.
Media Cetak
Media cetak pada era dewasa ini telah bermunculan bagaikan munculnya jamur di musim hujan. Baik majalah, koran ataupun buletin lainnya. Hal ini merupakan wujud nyata dari sebuah era informasi dan keterbukaan. Oleh sebab itu alangkah baiknya jika para muballigh mampu memanfaatkan media-media cetak yang ada itu di sebagai sarana untuk merdakwah.
Melihat persaingan media cetak yang begitu hebat, maka para muballigh kita hendaknya segera menyiapkan diri untuk menjadi penulis-pebulis handal sehingga mampu bersaing dalam amar ma'ruf nahi munkar di bidang mediacetak, mengingat media cetak merupakan media informasi yang cukup banyak peminatnya.
Media cetak yang berkembang selama ini lebih berpegang pada keterbukaan dan kebebasannya. Mereka dipacu oleh kebutuhan sensasi, iklan dan kebutuhan bisnisnya. Dan inilah prablem besar bagi para pelaku dakwah selama ini.
Radio
Radio merupakan media informasi yang hingga sekarang masih memiliki cukup banyak pemirsa. Mengingat radio merupakan alat informasi yang fleksibel, kecil dan dapat dibawa kemana-mana. Oleh sebab itu alangkah bermanfaat jika radio penuh dengan siaran-siarang yang mengajak kepada pemirsa untuk menjalankan kebaikan serta meninggalkan keburukan (amar ma'ruf nahi munkar )
Pesawat radio sering kali kita jumpai diputar semalam suntuk di warung-warung kopi, pos-pos jaga serta mobil-mobil, bahkan tidak jarang tukang becak selalu memutar radio sambil menunggu penumpang. Oleh sebab itu alangkah bermanfaatnya jika radio-radio yang diputar selalu membawa pesan dakwah.
Televisi
Televisi merupakan media informasi sekaligus media hiburan yang dapat di jumpai dimana-mana, baik di rumah kecil maupun di rumah mewah, baik di warung-warung kopi maupun di restauran-restauran.
Televisi merupankan media informasi yang bersifat netral, seperti pistol. Jika pistol di tangan orang jahat, maka pistol akan gunakan untuk menembak orang yang tidak bersalah. Namun jika pistol itu ditangan polisi yang beriman dan bijak, maka pistol itu akan digunakan untuk melindungi orang-orang benar.
Televisi merupakan media audio-visual, yang juga sering disebut sebagai media pandang dengar. Artinya televisi itu selain dapat kita dengar juga bisa kita lihat secara langsung. Oleh sebab itu alangkah besar manfaatnya jika televisi itu lebih banyak menyuguhkan siaran-siaran yang mampu merubah kondisi pemirsa dari kondisi yang tidak baik menjadi kondisi yang lebih baik.
Celluler
Celluler merupakan media informasi yang cukup canggih dan gaul. Hal ini nampak dari begitu banyaknya pemakai celluler, mulai dari pengusaha kelas atas hingga pengusaha kelas bawah, bahkan tidak sedikit para remaja pengangguranpun, pelajar yang mereka belum memiliki panghasilan yang menggunakan celluler.
Melihat begitu semaraknya celluler, maka alangkah besar manfaatnya jika celluler dimanfaatkan sebagai media dakwah, yaitu dengan cara memanfaatkan fasilitas Multimedia Messaging Service (mms) sebagai media untuk mengirin pesan-pesan normatif . Dengan ber-mms- kita dapat berdakwah dengan biaya yang murah.
Film
Film dapat memberikan pengaruh yang cukup besar kepada jiwa manusia yang sedang memirsanya. Di saat sedang menonton film, terjadi suatu gejala yang menurut ilmu jiwa sosial sebagai identifikasi psikologis. Ketika proses decoding terjadi, para penonton kerap menyamakan atau meniru seluruh pribadinya dengan salah seorang peran film.
Melihat pengaruh film begitu besar kepada jiwa yang sedang menontonnya, maka alangkah besar manfaatnya film itu, jika dijadikan sewbagai media untuk berdakwah.
Selain media-media yang penulis sebutkan di atas, masih banyak media-media lain yang dapat kita jadikan sebagai sarana untuk berdakwah
Manajemen Dakwah
MANAJEMEN DAKWAH
A. Definisi manajemen secara etimologi
Manajemen di dalam bahasa inggris, berasal dari kata to manage dalam Webster New Coolegiete Dictionary. Kata manage dijelaskan berasal dari bahasa itali ”Managgio” dari kata ”managgiare” yang selanjutnya kata ini berasal dari bahasa latin Menus yang berarti tangan (hand).
Kata manage di dalam kamus tersebut diberi arti
1. to direct and control (membimbing dan mengawasi)
2. to treat with care (memperlakukan dengan seksama)
3. to carry on business or affairs (mengurus perniagaan, atau urusan-urusan / persoalan-persoalan)
4. to achieve one’s purpose (mencapai tujuan tertentu).
Manajemen dalam bahasa arab diartikan sebagai an-nizam atau at-tanzhim. Yang merupakan, suatu tempat untuk, menyimpan segala sesuatu, dan penempatan segala sesuatu pada tempatnya.
B. Definisi manajemen secara terminologi
Manajemen adalah upaya mengatur, dan mengarahkan berbagai sumber daya, mencakup manusia (man), uang (money), barang (material), mesin (machine), metode (methode) dan pasar (market).
Menurut G.R Terry adalah manajemen adalah proses yang khas terdiri dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan yang dilakukan untuk menentukan dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan dengan menggunakan tenaga dan sumber daya lainnya.
Menurut Robert Kreitner manajemen adalah proses kerja dengan dan melalui orang lain untuk mencapai tujuan organisasi dalam lingkungan yang berubah. Proses ini berpusat pada penggunaan secara efektif dan efisien terhadap sumber daya yang terbatas.
Menurut John. D Millet dalam buku Management in the public service manajemen adalah proses pembimbingan dan pemberian fasilitas terhadap pekerjaan orang-orang yang terorganisir dalam kelompok formil untuk mencapai suatu tujuan yang dikehendaki.
Menurut James A. F. Stoner, manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan usaha-usaha para anggota organisasi dan penggunaan sumber daya-sumber daya organisasi lainnya agar mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan.
Manajemen juga dapat didefinisikan sebagai: bekerja dengan orang-orang untuk menentukan, menginterpretasikan dan mencapai tujuan-tujuan organisasi dengan pelaksanaan fungsi-fungsi perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), penyusunan personalia atau kepegawaian (staffing), pengarahan dan kepimpinan (leading) dan pengawasan (controlling).
Manjemen juga dapat diartikan sebagai suatu rangkaian aktivitas (termasuk perencanaan dan pengambilan keputusan, pengorganisasian, kepimpinan, dan pengendalian) yang diarahkan pada sumber-sumber daya organisasi (manusia, finansial, fisik, dan informasi) dengan maksud untuk mencapai tujuan organisasi secara efektif dan efisien.
C. Definisi manajemen dakwah
Manajemen dakwah adalah suatu perangkat atau organisasi dalam mengolah dakwah agar tujuan dakwah tersebut dapat lebih mudah tercapai sesuai dengan hasil yang diharapkan.
D. unsur-unsur manajemen dakwah
1. Perencanaan dakwah: tahap ini meliputi membuat susunan materi dakwah yang akan disampaikan kepada Mad'u. dan juga membuat susunan acara yang akan dilakukan mulai dari awal hingga akhir acara tersebut
2. Pengorganisasian dakwah: tahap ini merupakan, tahap yang dimana segala anggota penyelenggara acara berkumpul bersama dan saling bekerja sama dengan harapan tujuan dakwah tersebut bisa sukses.
3. Penggerakkan dakwah: tahap ini merupakan di mana segala anggota yang terlibat, menjalankan tugasnya masing-masing sesuai dengan perencanaan kegiatan dakwah yang telah dibuat bersama.
4. Pengendalian dakwah: tahap ini merupakan suatu upaya mengatur jalannya acara, agar acara tersebut berjalan sesuai dengan perencanaan yang telah dibuat bersama. Jadi situasi acaranya bisa terkendali.
5. Evaluasi dakwah: tahap ini merupakan suatu upaya melihat hasil / feedback yang diberikan mad'u, setelah mad'u tersebut menerima pesan dakwah yang disampaikan oleh Da'i.
Definisi dakwah menurut bahasa
Pada saat sekarang ini, sering kali terjadi istilah dakwah yang banyak disempitartikan oleh kebanyakan orang sehingga dakwah sering identik, dengan pengajian, khutbah, dam arti-arti sempit lainnya. Oleh karena itu, istilah dakwah perlu dipertegas takrifnya.
Ditinjau dari segi bahasa, dakwah berasal dari bahasa arab dakwah dan kata da’a, yad’u yang berarti panggilan, ajakan, seruan. Dakwah dengan pengertian diatas dapat dijumpai dalam ayat-ayat al-Qur’an, antara lain:
33. Yusuf berkata: "Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku." (QS. Yusuf: 33)
dari segi bahasa dakwah juga dapat diartikan sebagai mengajak, menyeru, memanggil, seruan, permohonan, dan permintaan. Istilah ini sering diberi arti yang sama dengan istilah-istilah tabligh, amr ma’ruf dan nahi mungkar, mau’idzhoh hasanah, tabsyir, indzhar, washiyah, tarbiyah, ta’lim, dan khotbah.
Istilah dakwah digunakan dalam al-Qur’an baik dalam bentuk fi’il maupun dalam bentuk masdar berjumlah lebih dari seratus kata. Sementara itu, dakwah dalam arti mengajak kepada Islam dan kebaikan, dan 7 kali mengajak ke neraka atau kejahatan. Al-Qur’an menggunakan kata dakwah untuk mengajak kepada kebaikan maupun kepada kejahatan yang disertai dengan resiko pilihan. Dan secara istilah dalam al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang menjelaskan makna dakwah dalam konteks yang berbeda.
• •
125. Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
•
104. Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung.
[217] Ma'ruf: segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah; sedangkan Munkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya.
Hikmah: ialah Perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil.
Terlepas dari hal itu pemakaian kata ”dakwah” dalam masyarakat Islam, terutama di indonesia, adalah sesuatu yang tidak asing. Arti dari kata ”dakwah” yang dimaksudkan adalah ”seruan” dan ”ajakan” kalau kata dakwah diberi arti ”seruan” maka yang dimaksudkan adalah seruan kepada Islam atau seruan Islam. Demikian juga halnya kalau diberi arti ” ajakan”. Maka yang dimaksud adalah ajakan kepada Islam atau ajakan Islam. Kecuali itu, Islam sebagai agama disebut agama dakwah, maksudnya adalah agama yang disebarluaskan dengan cara damai, tidak lewat kekerasan.
Kata “Dakwah” berasal dari bahasa arab yaitu: yang berarti menyeru, memanggil, mengajak, mengundang. Secara terminologi, dakwah menurut Asmuni Syukir sebagai berikut:
“Pengertian dakwah dapat diartikan dari dua segi yaitu dakwah bersifat pembinaan dan dakwah bersifat pengembangan. Pembinaan artinya suatu kegiatan mempertahankan dan menyempurnakan sesuatu hal yang sudah ada sebelumnya. Sedangkan pengembangan yaitu suatu kegiatan yang mengarah kepada pembaharuan atau mengadakan sesuatu yang belum ada.
Dalam al-Qur’an, dakwah dalam arti mengajak ditemukan sebanyak 46 kali, 39 kali dalam arti mengajak kepada Islam dan kebaikan, dan 7 kali mengajak ke neraka atau kejahatan. Jadi dari pengertian-pengertian dakwah menurut bahasa di atas, dapat didefinisikan dakwah Islam sebagai kegiatan mengajak, mendorong, dan memotivasi orang lain berdasarkan bashirah untuk meneliti jalan Allah dan istiqomah di jalan-Nya serta berjuang bersama meninggikan Agama Allah. Kata mengajak, mendorong, dan memotivasi adalah kegiatan dakwah yang berada dalam ruang lingkup tabligh. Kata bashirah untuk menunjukkan bahwa dakwah harus dengan ilmu dan perencanaan yang baik. Kalimat meniti jalan Allah untuk menunjukkan tujuan dakwah, yaitu mardhotillah. Kalimat Istiqomah di jalan-Nya untuk menunjukkan dakwah berkesinambungan. Sedangkan kalimat berjuang bersama meninggikan agama Allah. Untuk menunujukkan bahwa dakwah bukan hanya untuk menciptakan kesalehan pribadi, tetapi juga harus menciptakan kesalehan sosial. Untuk mewujudkan masyarakat yang saleh tidak bisa dilakukan dengan sendiri-sendiri tetapi dilakukan dengan bersama-sama.
Definisi dakwah dari segi terminologi
Menurut Syekh Ali Makhfudh dalam kitabnya Hidayatul Mursyidin, mengatakan dakwah adalah: mendorong manusia untuk berbuat kebajikan dan mengikuti petunjuk (agama), menyeru mereka kepada kebaikan dan mencegah mereka dari perbuatan munkar agar memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.
Menurut syekh Muhammad Khidr Husain dalam bukunya al-Dakwah ila al-Ishlah mengatakan dakwah adalah upaya untuk memotivasi orang agar berbuat baik dan mengikuti jalan petunjuk, dan melakukan amr ma’ruf nahi mungkar dengan tujuan mendapatkan kesuksesan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
HSM. Nasarudin Latif mendefinisikan dakwah adalah setiap usaha aktivitas dengan tulisan maupun tulisan yang bersifat menyeru, mengajak, memanggil manusia lainnya untuk beriman dan menaati Allah Swt. Sesuai dengan garis-garis akidah dan syariat serta akhlak islamiya.
Syekh Muhammad al-Ghazalli dalam bukunya Ma’allah mengatakan, bahwa dakwah adalah program pelengkap yang meliputi semua pengetahuan yang dibutuhkan manusia, untuk memberikan penjelasan tentang tujuan hidup serta menyingkap rambu-rambu kehidupan agar mereka menjadi orang yang dapat membedakan mana yang boleh dijalani dan mana kawasan yang dilarang.
Aboebakar Atjeh dalam bukunya, eberapa catatan mengenai Dakwah Islam, mengatakan, bahwa Dakwah adalah seruan kepada seluruh umat manusia untuk kembali pada ajaran hidup sepanjang ajaran Allah yang benar, dilakukan dengan penuh kebijaksanaan dan nasihat yang baik.
Masdar Helmy mengatakan bahwa dakwah adalah Mengajak dan menggerakkan manusia agar menaati ajaran-ajaran Allah (Islam) termasuk amr ma’ruf nahi mungkar untuk bisa memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Jadi ilmu manajemen dan ilmu dakwah sangat erat sekali hubungannya, keduanya sama-sama pentingnya untuk dipadukan demi mencapai keberhasilan dakwa
A. Definisi manajemen secara etimologi
Manajemen di dalam bahasa inggris, berasal dari kata to manage dalam Webster New Coolegiete Dictionary. Kata manage dijelaskan berasal dari bahasa itali ”Managgio” dari kata ”managgiare” yang selanjutnya kata ini berasal dari bahasa latin Menus yang berarti tangan (hand).
Kata manage di dalam kamus tersebut diberi arti
1. to direct and control (membimbing dan mengawasi)
2. to treat with care (memperlakukan dengan seksama)
3. to carry on business or affairs (mengurus perniagaan, atau urusan-urusan / persoalan-persoalan)
4. to achieve one’s purpose (mencapai tujuan tertentu).
Manajemen dalam bahasa arab diartikan sebagai an-nizam atau at-tanzhim. Yang merupakan, suatu tempat untuk, menyimpan segala sesuatu, dan penempatan segala sesuatu pada tempatnya.
B. Definisi manajemen secara terminologi
Manajemen adalah upaya mengatur, dan mengarahkan berbagai sumber daya, mencakup manusia (man), uang (money), barang (material), mesin (machine), metode (methode) dan pasar (market).
Menurut G.R Terry adalah manajemen adalah proses yang khas terdiri dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan yang dilakukan untuk menentukan dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan dengan menggunakan tenaga dan sumber daya lainnya.
Menurut Robert Kreitner manajemen adalah proses kerja dengan dan melalui orang lain untuk mencapai tujuan organisasi dalam lingkungan yang berubah. Proses ini berpusat pada penggunaan secara efektif dan efisien terhadap sumber daya yang terbatas.
Menurut John. D Millet dalam buku Management in the public service manajemen adalah proses pembimbingan dan pemberian fasilitas terhadap pekerjaan orang-orang yang terorganisir dalam kelompok formil untuk mencapai suatu tujuan yang dikehendaki.
Menurut James A. F. Stoner, manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan usaha-usaha para anggota organisasi dan penggunaan sumber daya-sumber daya organisasi lainnya agar mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan.
Manajemen juga dapat didefinisikan sebagai: bekerja dengan orang-orang untuk menentukan, menginterpretasikan dan mencapai tujuan-tujuan organisasi dengan pelaksanaan fungsi-fungsi perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), penyusunan personalia atau kepegawaian (staffing), pengarahan dan kepimpinan (leading) dan pengawasan (controlling).
Manjemen juga dapat diartikan sebagai suatu rangkaian aktivitas (termasuk perencanaan dan pengambilan keputusan, pengorganisasian, kepimpinan, dan pengendalian) yang diarahkan pada sumber-sumber daya organisasi (manusia, finansial, fisik, dan informasi) dengan maksud untuk mencapai tujuan organisasi secara efektif dan efisien.
C. Definisi manajemen dakwah
Manajemen dakwah adalah suatu perangkat atau organisasi dalam mengolah dakwah agar tujuan dakwah tersebut dapat lebih mudah tercapai sesuai dengan hasil yang diharapkan.
D. unsur-unsur manajemen dakwah
1. Perencanaan dakwah: tahap ini meliputi membuat susunan materi dakwah yang akan disampaikan kepada Mad'u. dan juga membuat susunan acara yang akan dilakukan mulai dari awal hingga akhir acara tersebut
2. Pengorganisasian dakwah: tahap ini merupakan, tahap yang dimana segala anggota penyelenggara acara berkumpul bersama dan saling bekerja sama dengan harapan tujuan dakwah tersebut bisa sukses.
3. Penggerakkan dakwah: tahap ini merupakan di mana segala anggota yang terlibat, menjalankan tugasnya masing-masing sesuai dengan perencanaan kegiatan dakwah yang telah dibuat bersama.
4. Pengendalian dakwah: tahap ini merupakan suatu upaya mengatur jalannya acara, agar acara tersebut berjalan sesuai dengan perencanaan yang telah dibuat bersama. Jadi situasi acaranya bisa terkendali.
5. Evaluasi dakwah: tahap ini merupakan suatu upaya melihat hasil / feedback yang diberikan mad'u, setelah mad'u tersebut menerima pesan dakwah yang disampaikan oleh Da'i.
Definisi dakwah menurut bahasa
Pada saat sekarang ini, sering kali terjadi istilah dakwah yang banyak disempitartikan oleh kebanyakan orang sehingga dakwah sering identik, dengan pengajian, khutbah, dam arti-arti sempit lainnya. Oleh karena itu, istilah dakwah perlu dipertegas takrifnya.
Ditinjau dari segi bahasa, dakwah berasal dari bahasa arab dakwah dan kata da’a, yad’u yang berarti panggilan, ajakan, seruan. Dakwah dengan pengertian diatas dapat dijumpai dalam ayat-ayat al-Qur’an, antara lain:
33. Yusuf berkata: "Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku." (QS. Yusuf: 33)
dari segi bahasa dakwah juga dapat diartikan sebagai mengajak, menyeru, memanggil, seruan, permohonan, dan permintaan. Istilah ini sering diberi arti yang sama dengan istilah-istilah tabligh, amr ma’ruf dan nahi mungkar, mau’idzhoh hasanah, tabsyir, indzhar, washiyah, tarbiyah, ta’lim, dan khotbah.
Istilah dakwah digunakan dalam al-Qur’an baik dalam bentuk fi’il maupun dalam bentuk masdar berjumlah lebih dari seratus kata. Sementara itu, dakwah dalam arti mengajak kepada Islam dan kebaikan, dan 7 kali mengajak ke neraka atau kejahatan. Al-Qur’an menggunakan kata dakwah untuk mengajak kepada kebaikan maupun kepada kejahatan yang disertai dengan resiko pilihan. Dan secara istilah dalam al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang menjelaskan makna dakwah dalam konteks yang berbeda.
• •
125. Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
•
104. Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung.
[217] Ma'ruf: segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah; sedangkan Munkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya.
Hikmah: ialah Perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil.
Terlepas dari hal itu pemakaian kata ”dakwah” dalam masyarakat Islam, terutama di indonesia, adalah sesuatu yang tidak asing. Arti dari kata ”dakwah” yang dimaksudkan adalah ”seruan” dan ”ajakan” kalau kata dakwah diberi arti ”seruan” maka yang dimaksudkan adalah seruan kepada Islam atau seruan Islam. Demikian juga halnya kalau diberi arti ” ajakan”. Maka yang dimaksud adalah ajakan kepada Islam atau ajakan Islam. Kecuali itu, Islam sebagai agama disebut agama dakwah, maksudnya adalah agama yang disebarluaskan dengan cara damai, tidak lewat kekerasan.
Kata “Dakwah” berasal dari bahasa arab yaitu: yang berarti menyeru, memanggil, mengajak, mengundang. Secara terminologi, dakwah menurut Asmuni Syukir sebagai berikut:
“Pengertian dakwah dapat diartikan dari dua segi yaitu dakwah bersifat pembinaan dan dakwah bersifat pengembangan. Pembinaan artinya suatu kegiatan mempertahankan dan menyempurnakan sesuatu hal yang sudah ada sebelumnya. Sedangkan pengembangan yaitu suatu kegiatan yang mengarah kepada pembaharuan atau mengadakan sesuatu yang belum ada.
Dalam al-Qur’an, dakwah dalam arti mengajak ditemukan sebanyak 46 kali, 39 kali dalam arti mengajak kepada Islam dan kebaikan, dan 7 kali mengajak ke neraka atau kejahatan. Jadi dari pengertian-pengertian dakwah menurut bahasa di atas, dapat didefinisikan dakwah Islam sebagai kegiatan mengajak, mendorong, dan memotivasi orang lain berdasarkan bashirah untuk meneliti jalan Allah dan istiqomah di jalan-Nya serta berjuang bersama meninggikan Agama Allah. Kata mengajak, mendorong, dan memotivasi adalah kegiatan dakwah yang berada dalam ruang lingkup tabligh. Kata bashirah untuk menunjukkan bahwa dakwah harus dengan ilmu dan perencanaan yang baik. Kalimat meniti jalan Allah untuk menunjukkan tujuan dakwah, yaitu mardhotillah. Kalimat Istiqomah di jalan-Nya untuk menunjukkan dakwah berkesinambungan. Sedangkan kalimat berjuang bersama meninggikan agama Allah. Untuk menunujukkan bahwa dakwah bukan hanya untuk menciptakan kesalehan pribadi, tetapi juga harus menciptakan kesalehan sosial. Untuk mewujudkan masyarakat yang saleh tidak bisa dilakukan dengan sendiri-sendiri tetapi dilakukan dengan bersama-sama.
Definisi dakwah dari segi terminologi
Menurut Syekh Ali Makhfudh dalam kitabnya Hidayatul Mursyidin, mengatakan dakwah adalah: mendorong manusia untuk berbuat kebajikan dan mengikuti petunjuk (agama), menyeru mereka kepada kebaikan dan mencegah mereka dari perbuatan munkar agar memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.
Menurut syekh Muhammad Khidr Husain dalam bukunya al-Dakwah ila al-Ishlah mengatakan dakwah adalah upaya untuk memotivasi orang agar berbuat baik dan mengikuti jalan petunjuk, dan melakukan amr ma’ruf nahi mungkar dengan tujuan mendapatkan kesuksesan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
HSM. Nasarudin Latif mendefinisikan dakwah adalah setiap usaha aktivitas dengan tulisan maupun tulisan yang bersifat menyeru, mengajak, memanggil manusia lainnya untuk beriman dan menaati Allah Swt. Sesuai dengan garis-garis akidah dan syariat serta akhlak islamiya.
Syekh Muhammad al-Ghazalli dalam bukunya Ma’allah mengatakan, bahwa dakwah adalah program pelengkap yang meliputi semua pengetahuan yang dibutuhkan manusia, untuk memberikan penjelasan tentang tujuan hidup serta menyingkap rambu-rambu kehidupan agar mereka menjadi orang yang dapat membedakan mana yang boleh dijalani dan mana kawasan yang dilarang.
Aboebakar Atjeh dalam bukunya, eberapa catatan mengenai Dakwah Islam, mengatakan, bahwa Dakwah adalah seruan kepada seluruh umat manusia untuk kembali pada ajaran hidup sepanjang ajaran Allah yang benar, dilakukan dengan penuh kebijaksanaan dan nasihat yang baik.
Masdar Helmy mengatakan bahwa dakwah adalah Mengajak dan menggerakkan manusia agar menaati ajaran-ajaran Allah (Islam) termasuk amr ma’ruf nahi mungkar untuk bisa memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Jadi ilmu manajemen dan ilmu dakwah sangat erat sekali hubungannya, keduanya sama-sama pentingnya untuk dipadukan demi mencapai keberhasilan dakwa
bentuk-bentuk komunikasi islam
Bentuk-bentuk komunikasi islam
Komunikasi dengan Allah (Hablum Minallah)
Komunikasi dengan Allah merupakan komunikasi yang paling tinggi darjat dan yang paling dalam amalan manusia. Komunikasi tersebut boleh dilakukan secara terus menerus (langsung). Komunikasi ini bertujuan untuk mendekatkan diri manusi dengan Allah,memohom petunjuk, bersyukur, menyerah diri contohnya dengan membaca Al-Quran,bersembahyang,berzikir pada bila-bila masa.
Komunikasi dengan sesama manusia (Hablum Minnnas)
Komunikasi sesama manusia boleh berlaku dalam bentuk yang luas mancakupi berbagai aktiviti dalam kehidupan manusia seperti pendidikan,komunikasi dengan keluarga,komunikasi dalam pekerjaan,komunikasi dakwah dan sebagainya. Ia boleh dilakukan secara individu dengan individu, individu dengan kumpulan.Komunikasi tersebut boleh dilakukan secara langsung atau bersemuka dan juga secara tidak langsung.Contohnya, dialog,ceramah,perundingan,kaunseling,perbualan telefon dan sebagainya.
Komunikasi dengan diri sendiri
Komunikasi dengan diri sendiri dapat dilakukan melalui bercakap-cakap dengan diri sendiri seperti melalui proses berfikir,muhasabah diri sendiri tentang amalan-amalan yang dilakukan,ibadah-ibadah harian dan lain-lain. Komunikasi dengan diri sendiri merupakan jenis komunikasi yang sangat dituntut oleh agama agar kita selalu berhati-hati,selalu menilai prestasi diri supaya dapat memperbaiki amalan kita.
Komunikasi manusia dengan alam sekitar
Komunikasi manusia dengan alam sekitar ,adalah perlu dilakukan oleh umat Islam sesuai dengan fungsi manusia menurut islam sebagai khalifah Allah SWT di muka.Alam sekitar bermaksud sesuatu yang berada di sekitar kehidupan manusia seperti haiwan,tumbuh-tumbuhan dan isi alam yang lain.
Komunikasi dengan Allah (Hablum Minallah)
Komunikasi dengan Allah merupakan komunikasi yang paling tinggi darjat dan yang paling dalam amalan manusia. Komunikasi tersebut boleh dilakukan secara terus menerus (langsung). Komunikasi ini bertujuan untuk mendekatkan diri manusi dengan Allah,memohom petunjuk, bersyukur, menyerah diri contohnya dengan membaca Al-Quran,bersembahyang,berzikir pada bila-bila masa.
Komunikasi dengan sesama manusia (Hablum Minnnas)
Komunikasi sesama manusia boleh berlaku dalam bentuk yang luas mancakupi berbagai aktiviti dalam kehidupan manusia seperti pendidikan,komunikasi dengan keluarga,komunikasi dalam pekerjaan,komunikasi dakwah dan sebagainya. Ia boleh dilakukan secara individu dengan individu, individu dengan kumpulan.Komunikasi tersebut boleh dilakukan secara langsung atau bersemuka dan juga secara tidak langsung.Contohnya, dialog,ceramah,perundingan,kaunseling,perbualan telefon dan sebagainya.
Komunikasi dengan diri sendiri
Komunikasi dengan diri sendiri dapat dilakukan melalui bercakap-cakap dengan diri sendiri seperti melalui proses berfikir,muhasabah diri sendiri tentang amalan-amalan yang dilakukan,ibadah-ibadah harian dan lain-lain. Komunikasi dengan diri sendiri merupakan jenis komunikasi yang sangat dituntut oleh agama agar kita selalu berhati-hati,selalu menilai prestasi diri supaya dapat memperbaiki amalan kita.
Komunikasi manusia dengan alam sekitar
Komunikasi manusia dengan alam sekitar ,adalah perlu dilakukan oleh umat Islam sesuai dengan fungsi manusia menurut islam sebagai khalifah Allah SWT di muka.Alam sekitar bermaksud sesuatu yang berada di sekitar kehidupan manusia seperti haiwan,tumbuh-tumbuhan dan isi alam yang lain.
komunikasi dan dakwah
Peradaban masyarakat Madinah pada masa awal adalah bukti konkret keberhasilan dakwah Rasulullah Muhammad SAW. Digambarkan, hubungan sosial masyarakatnya sangat hangat dan indah, saling menghargai dan menghormati di tengah-tengah perbedaan, tidak saling memaksakan kehendak dan pendapat sendiri. Keberhasilan ini tidak lepas dari kemampuan Rasulullah dalam mengkomunikasikan ajaran-ajaran Ilahi dengan baik yang ditopang dengan keluhuran budi pekerti. Jika ditelusuri sirah (sejarah) Nabi, akan dijumpai bahwa keberhasilan itu karena beliau menerapkan seluruh prinsip-prinsip komunikasi dalam al-Qur'an secara konsisten. Tulisan ini mencoba menjelaskan tentang prinsip-prinsip komunikasi dengan mengambil inspirasi dari al-Qur'an, bagaimana harus dipahami dan dimaknai pada masa modern dewasa ini sebagai landasan etis untuk pengembangan ilmu komunikasi yang lebih luhur dan mencerahkan.
MANUSIA, di samping makhluk beragama, adalah makhluk sosial, yaitu makhluk yang selalu hidup bermasyarakat dan senantiasa membutuhkan peran-serta pihak lain. Artinya, berinteraksi sosial atau hidup bermasyarakat merupakan sesuatu yang tumbuh sesuai dengan fitrah dan kebutuhan kemanusiaan. Dalam hal ini, al-Qur`an banyak memberikan arahan atau nilai-nilai positif yang harus dikembangkan; juga nilai-nilai negatif yang semestinya untuk dihindarkan. Bahkan, di dalam QS. al-Hujurāt/49: 13, penggunaan redaksi ya ayyuhan-nas -walaupun ayatnya adalah madaniyah- menunjukkan bahwa saling mengenal yang dimaksudkan itu tidak membedakan suku, ras, bahasa, kebudayaan, bahkan ideologi. Maka, ketika manusia tidak peduli dengan lainnya, tidak mau saling mengenal atau, dengan istilah lain, ia lebih menonjolkan sikap egoistiknya, maka berarti ia telah kehilangan sifat dasar kemanusiaannya.
Manusia sebagai makhluk sosial menduduki posisi yang sangat penting dan strategis. Sebab, hanya manusialah satu-satunya makhluk yang diberi karunia bisa berbicara. Dengan kemampuan bicara itulah, memungkinkan manusia membangun hubungan sosialnya. Sebagaimana bisa dipahami dari firman Allah علمه البيان "mengajarnya pandai berbicara" (al-Rahmân/55: 4). Banyak penafsiran yang muncul berkenaan dengan kata al-bayān, namun yang paling kuat adalah berbicara (al-nuthq, al-kalām).[1] Hanya saja, menurut Ibn 'Asyur, kata al-bayān juga mencakup isyarah-isyarah lainnya, seperti kerlingan mata, anggukan kepala. Dengan demikian, al-bayān merupakan karunia yang terbesar bagi manusia. Bukan saja ia dapat dikenali jati dirinya, akan tetapi, ia menjadi pembeda dari binatan.[2]
Kemampuan bicara berarti kemampuan berkomunikasi. Berkomunikasi adalah sesuatu yang dihajatkan di hampir setiap kegiatan manusia. Dalam sebuah penelitian telah dibuktikan, hampir 75 % sejak bangun dari tidur manusia berada dalam kegiatan komunikasi. Dengan komunikasi kita dapat membentuk saling pengertian dan menumbuhkan persahabatan, memelihara kasih sayang, menyebarkan pengetahuan, dan melestarikan peradaban. Akan tetapi, dengan komunikasi, juga kita dapat menumbuh-suburkan perpecahan, menghidupkan permusuhan, menanamkan kebencian, merintangi kemajuan, dan menghambat pemikiran.[3]
Kenyataan ini sekaligus memberi gambaran betapa kegiatan komunikasi bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan oleh setiap manusia. Anggapan ini barangkali didasarkan atas dasar asumsi bahwa komunikasi merupakan suatu yang lumrah dan alamiah yang tidak perlu dipermasalahkan. Sedemikian lumrahnya, sehingga seseorang cenderung tidak melihat kompleksitasnya atau tidak menyadari bahwa dirinya sebenarnya berkekurangan atau tidak berkompeten dalam kegiatan pribadi yang paling pokok ini. Dengan demikian, berkomunikasi secara efektif sebenarnya merupakan suatu perbuatan yang paling sukar dan kompleks yang pernah dilakukan seseorang.[4]
Dalam sebuah ungkapan Arab disebutkan :الكلام صفة المتكلم Ucapan atau perkataan menggambarkan si pembicara'.[5] Dari pernyataan ini dapat dipahami bahwa perkataan/ucapan, atau dengan istilah lain, kemampuan berkomunikasi akan mencerminkan apakah seseorang adalah terpelajar atau tidak. Dengan demikian, berkomunikasi tidaklah identik dengan menyampaikan sebuah informasi. Para pakar komunikasi, sebagaimana yang dikutip oleh Jalaluddin Rahmat, berpendapat bahwa setiap komunikasi mengandung dua aspek, yaitu aspek isi dan aspek kandungan, di mana yang kedua mengklasifikasikan yang pertama dan karena itu merupakan metakomunikasi (di luar komunikasi). Komunikasi memang bukan hanya menyampaikan informasi tetapi yang terpenting adalah mengatur hubungan sosial di antara komunikan.[6]
Untuk itu, demi terciptanya suasana kehidupan yang harmonis antar anggota masyarakat, maka harus dikembangkan bentuk-bentuk komunikasi yang beradab, yang digambarkan oleh Jalaludin Rahmat, yaitu sebuah bentuk komunikasi di mana sang komunikator akan menghargai apa yang mereka hargai; ia berempati dan berusaha memahami realitas dari perspektif mereka. Pengetahuannya tentang khalayak bukanlah untuk menipu, tetapi untuk memahami mereka, dan bernegosiasi dengan mereka, serta bersama-sama saling memuliakan kemanusiaannya. Adapun gambaran kebalikannya yaitu apabila sang komunikator menjadikan pihak lain sebagai obyek; ia hanya menuntut agar orang lain bias memahami pendapatnya; sementara itu, ia sendiri tidak bisa menghormati pendapat orang lain. Dalam komunikasi bentuk kedua ini, bukan saja ia telah mendehumanisasikan mereka, tetapi juga dirinya sendiri.[7]
Prinsip-prinsip Komunikasi dalam al-Qur'an
Ada hal penting yang lebih dulu dijelaskan terkait dengan tema bahasan di atas. Pertama, al-Qur'an tidak memberikan uraian secara spesifik tentang komunikasi. Kata 'komunikasi' berasal dari bahasa Latin, communicatio, dan bersumber dari kata cummunis yang berarti sama, maksudnya sama makna. Artinya, suatu komunikasi dikatakan komunikatif jika antara masing-masing pihak mengerti bahasa yang digunakan, dan paham terhadap apa yang dipercakapkan.[8]
Dalam proses komunikasi, paling tidak, terdapat tiga unsur, yaitu komunikator, media dan komunikan.[9]
Para pakar komunikasi juga menjelaskan bahwa komunikasi tidak hanya bersifat informatif, yakni agar orang lain mengerti dan paham, tetapi juga persuasif, yaitu agar orang lain mau menerima ajaran atau informasi yang disampaikan, melakukan kegiatan atau perbuatan, dan lain-lain. Bahkan menurut Hovland, seperti yang dikutip oleh Onong, bahwa berkomunikasi bukan hanya terkait dengan penyampaian informasi, akan tetapi juga bertujuan pembentukan pendapat umum (public opinion) dan sikap publik (public attitude).[10]
Kedua, meskipun al-Qur'an secara spesifik tidak membicarakan masalah komunikasi, namun, jika diteliti ada banyak ayat yang memberikan gambaran umum prinsip-prinsip komunikasi. Dalam hal ini, penulis akan merujuk kepada term-term khusus yang diasumsikan sebagai penjelasan dari prinsip-prinsip komunikasi tersebut. Antara lain, term qaulan balighan, qaulan maisuran, qaulan kariman, qaulan ma'rufan, qaulan layyinan, qaulan sadidan, juga termasuk qaul al-zur, dan lain-lain.
a. Prinsip Qaul baligh
Di dalam al-Qur'an term qaul baligh hanya disebutkan sekali, yaitu surah an-Nisa': 63:
فكيف إذا أصابتهم مصيبة بما قدمت أيديهم ثم جاءوك يحلفون بالله إن أردنا إلا إحسانا وتوفيقا, أولئك الذين يعلم الله ما فى قلوبهم فأعرض عنهم و عظهم و قل لهم فى أنفسهم قولا بليغا (النساء/4: 62-63)
"Maka bagaimana halnya apabila (kelak) musibah menimpa mereka (orang munafik) disebabkan perbuatan tangannya sendiri, kemudian mereka datang kepadamu (Muhammad) sambil bersumpah, "Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain kebaikan dan kedamaian." Mereka itu adalah orang-orang yang (sesungguhnya) Allah mengetahui apa yang ada di dalam hatinya. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka nasihat, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang membekas pada jiwanya. (Q.s. an-Nisa'/4: 62-63)
Ayat ini menginformasikan tentang kebusukan hati kaum munafik, bahwa mereka tidak akan pernah bertahkim kepada Rasulullah saw, meski mereka bersumpah atas nama Allah, kalau apa yang mereka lakukan semata-mata hanya menghendaki kebaikan. Walapun begitu, beliau dilarang menghukum mereka secara fisik (makna dari "berpalinglah dari mereka"), akan tetapi, cukup memberi nasehat sekaligus ancaman bahwa perbuatan buruknya akan mengakibatkan turunnya siksa Allah,[11] dan berkata kepada mereka dengan perkataan yang baligh.
Term balīgh, yang berasal dari ba la gha, oleh para ahli bahasa dipahami sampainya sesuatu kepada sesuatu yang lain. Juga bisa dimaknai dengan "cukup" (al-kifāyah). Sehingga perkataan yang balīgh adalah perkataan yang merasuk dan membekas dalam jiwa.[12] Sementara menurut al-Ishfahani,[13] bahwa perkataan tersebut mengandung tiga unsur utama, yaitu bahasanya tepat, sesuai dengan yang dikehendaki, dan isi perkataan adalah suatu kebenaran. Sedangkan term balīgh dalam konteks pembicara dan lawan bicara, adalah bahwa si pembicara secara sengaja hendak menyampaikan sesuatu dengan cara yang benar agar bisa diterima oleh pihak yang diajak bicara.
Secara rinci, para pakar sastra, seperti yang dikutip oleh Quraish Shihab, membuat kriteria-kriteria khusus tentang suatu pesan dianggap balīgh, antara lain:[14]
Tertampungnya seluruh pesan dalam kalimat yang disampaikan
Kalimatnya tidak bertele-tele, juga tidak terlalu pendek sehingga pengertiannya menjadi kabur
Pilihan kosa katanya tidak dirasakan asing bagi si pendengar
Kesesuaian kandungan dan gaya bahasa dengan lawan bicara
Kesesuaian dengan tata bahasa.
b. Prinsip Qaul karim
Term ini ditemukan di dalam al-Qur'an hanya sekali, yaitu surah al-Isra': 23:
و قضى ربك الا تعبدوا إلا إياه و بالوالدين احسانا, امايبلغن عندك الكبر احدهما او كلاهما فلا تقل لهما اف ولا تنهرهما و قل لهما قولا كريما (الاسراء/17: 23):
"Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik." (Q.s. al-Isra'/17: 23(
Ayat di atas menginformasikan bahwa ada dua ketetapan Allah yang menjadi kewajiban setiap manusia, yaitu menyembah Allah dan berbakti kepada kedua orang tua. Ajaran ini sebenarnya ajaran kemanusiaan yang bersifat umum, karena setiap manusia pasti menyandang dua predikat ini sekaligus, yakni sebagai makhluk ciptaan Allah, yang oleh karenanya harus menghamba kepada-Nya semata; dan anak dari kedua orang tuanya. Sebab, kedua orang tuanyalah yang menjadi perantara kehadirannya di muka bumi ini. Bukan hanya itu, struktur ayat ini, di mana dua pernyataan tersebut dirangkai dengan huruf wawu 'athaf, yang salah satu fungsinya adalah menggabungkan dua pernyataan yang tidak bisa saling dipisahkan, menunjukkan bahwa berbakti kepada kedua orag tua menjadi parameter bagi kualitas penghambaan manusia kepada Allah.
Dalam sebuah hadis dinyatakan:
عن أبى هريرة عن النبى صلى الله عليه وسلم قال رغم أنف ثم رغم أنف ثم رغم انف: رجل ادرك أحد أبويه او كلاهما عنده الكبر لم يدخل الجنة (رواه أحمد)
Dari Abi Hurairah r.a., dari Nabi Saw. Bersabda, "Merugilah 3 x, seseorang yang menemukan salah satu atau kedua orang tuanya sudah lanjut usia tidak bisa masuk surga. (H.r. Ahmad)
Berkaitan dengan inilah, al-Qur'an memberikan petunjuk bagaimana cara berprilaku dan berkomunikasi secara baik dan benar kepada kedua orang tua, terutama sekali, di saat keduanya atau salah satunya sudah berusia lanjut. Dalam hal ini, al-Qur'an menggunakan term karīm, yang secara kebahasaan berarti mulia. Term ini bisa disandarkan kepada Allah, misalnya, Allah Maha Karim, artinya Allah Maha Pemurah; juga bisa disandarkan kepada manusia, yaitu menyangkut keluhuran akhlak dan kebaikan prilakunya. Artinya, seseorang akan dikatakan karim, jika kedua hal itu benar-benar terbukti dan terlihat dalam kesehariannya.[15]
Namun, jika term karīm dirangkai dengan kata qaul atau perkataan, maka berarti suatu perkataan yang menjadikan pihak lain tetap dalam kemuliaan, atau perkataan yang membawa manfaat bagi pihak lain tanpa bermaksud merendahkan.[16] Di sinilah Sayyid Quthb menyatakan bahwa perkataan yang karīm, dalam konteks hubungan dengan kedua orang tua, pada hakikatnya adalah tingkatan yang tertinggi yang harus dilakukan oleh seorang anak. Yakni, bagaimana ia berkata kepadanya, namun keduanya tetap merasa dimuliakan dan dihormati.[17] Ibn 'Asyur menyatakan bahwa qaul karīm adalah perkataan yang tidak memojokkan pihak lain yang membuat dirinya merasa seakan terhina. Contoh yang paling jelas adalah ketika seorang anak ingin menasehati orang tuanya yang salah, yakni dengan tetap menjaga sopan santun dan tidak bermaksud menggurui, apalagi sampai menyinggung perasaannya.[18] Yang pasti qaul karīm, adalah setiap perkataan yang dikenal lembut, baik, yang mengandung unsur pemuliaan dan penghormatan.
c. Prinsip Qaul Maisūr
Di dalam al-Qur'an hanya ditemukan sekali saja, yaitu surah al-Isra'/17: 28:
و إما تعرضن عنهم ابتغاء رحمة من ربك ترجوها فقل لهم قولاميسورا (الاسراء/17: 28)
"Dan jika engkau berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang engkau harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang lemah lembut." (Q.s. al-Isra'/17: 28)
Ibn Zaid berkata, "Ayat ini turun berkenaan dengan kasus suatu kaum yang minta sesuatu kepada Rasulullah saw namun beliau tidak mengabulkan permintaannya, sebab beliau tahu kalau mereka seringkali membelanjakan harta kepada hal-hal yang tidak bermanfaat. Sehingga berpalingnya beliau adalah semata-mata karena berharap pahala. Sebab, dengan begitu beliau tidak mendukung kebiasaan buruknya dalam menghambur-hamburkan harta. Namun begitu, harus tetap berkata dengan perkataan yang menyenangkan atau melegakan."[19]
Ayat ini juga mengajarkan, apabila kita tidak bisa memberi atau mengabulkan permintaan karena memang tidak ada, maka harus disertai dengan perkataan yang baik dan alasan-alasan yang rasional. Pada prinsipnya, qaul maisūr adalah segala bentuk perkataan yang baik, lembut, dan melegakan.[20] Ada juga yang menjelaskan, qaul maisūr adalah menjawab dengan cara yang sangat baik, perkataan yang lembut dan tidak mengada-ada. Ada juga yang mengidentikkan qaul maisūr dengan qaul ma'rūf. Artinya, perkataan yang maisūr adalah ucapan yang wajar dan sudah dikenal sebagai perkataan yang baik bagi masyarakat setempat.[21]
d. Prinsip Qaul ma'ruf
Di dalam al-Qur'an term ini disebutkan sebanyak empat kali, yaitu Q.s. al-Baqarah/2: 235, al-Nisa'/4: 5 dan 8, al-Ahzab/33: 32. Di dalam Q.s. al-Baqarah/2: 235, qaul ma'ruf disebutkan dalam konteks meminang wanita yang telah ditinggal mati suaminya. Sementara di dalam Q.s. an-Nisa'/4: 5 dan 8, qaul ma'ruf dinyatakan dalam konteks tanggung jawab atas harta seorang anak yang belum memanfaatkannya secara benar (safih). Sedangkan di Q.s. al-Ahzab/33: 32, qaul ma'ruf disebutkan dalam konteks istri-istri Nabi Saw.
Kata ma'ruf disebutkan di dalam al-Qur'an sebanyak 38 kali, yang bisa diperinci sebagai berikut
Terkait dengan tebusan dalam masalah pembunuhan setelah mendapatkan pemaafan terkait dengan wasiyat
Terkait dengan persoalan thalaq, nafkah, mahar, 'iddah, pergaulan suami-istri
Terkait dengan dakwah
Terkait dengan pengelolaan harta anak yatim
Terkait dengan pembicaraan atau ucapan
Terkait dengan ketaatan kepada Allah da Rasul-Nya
Menurut al-Ishfahani, term ma'ruf menyangkut segala bentuk perbuatan yang dinilai baik oleh akal dan syara'.[25] Dari sinilah kemudian muncul pengertian bahwa ma'ruf adalah kebaikan yang bersifat lokal. Sebab, jika akal dijadikan sebagai dasar pertimbangan dari setiap kebaikan yang muncul, maka tidak akan sama dari masing-masing daerah dan lokasi.
Misalnya dalam kasus pembagian warisan, dimana saat itu juga hadir beberapa kerabat yang ternyata tidak memperoleh bagian warisan, juga orang-orang miskin dan anak-anak yatim, oleh al-Qur'an diperintahkan agar berkata kepada mereka dengan perkataan yang ma'ruf. Hal ini sangatlah tepat, karena perkataan baik tidak bias diformulasikan secara pasti, karena hanya akan membatasi dari apa yang dikehandaki oleh al-Qur'an. Di samping itu, juga akan terkait dengan budaya dan adat istiadat yang berlaku di masing-masing daerah. Boleh jadi, suatu perkataan dianggap ma'ruf oleh suatu daerah, ternyata tidak ma'ruf bagi daerah lain. Begitu juga, dalam kasus-kasus lain sebagaimana yang diungkapkan oleh al-Qur'an, seperti meminang wanita yang sudah habis masa 'iddahnya, menasehati istri, memberi pengertian kepada anak yatim menyangktu pengelolaan hartanya. Sementara menurut Ibn 'Asyur, qaul ma'ruf adalah perkataan baik yang melegakan dan menyenangkan lawan bicaranya.[26]
Dalam beberapa konteks al-Razi menjelaskan, bahwa qaul ma'ruf adalah perkataan yang baik, yang menancap ke dalam jiwa, sehingga yang diajak bicara tidak merasa dianggap bodoh (safih);[27] perkataan yang mengandung penyesalan ketika tidak bisa memberi atau membantu;[28] Perkataan yang tidak menyakitkan dan yang sudah dikenal sebagai perkataan yang baik.[29]
e. Prinsip Qaul layyin
Di dalam al-Qur'an hanya ditemukan sekali saja, Q.s. Thaha/ 20: 44:
اذهبا الى فرعون انه طغى. فقولا له قولا لينا لعله يتذكر او يخشى (طه/20: 43-44)
"Pergilah kamu bedua kepada Fir'aun, sesungguhnya dia benar-benar telah melampaui batas; maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir'aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut." (Q.s. Thaha/20: 43-44)
Ayat ini memaparkan kisah nabi Musa dan Harun ketika diperintahkan untuk menghadapi Fir'aun, yaitu agar keduanya berkata kepada Fir'aun dengan perkataan yang layyin. Asal makna layyin adalah lembut atau gemulai, yang pada mulanya digunakan untuk menunjuk gerakan tubuh. Kemudian kata ini dipinjam (isti'arah) untuk menunjukkan perkataan yang lembut.[30] Sementara yang dimaksud dengan qaul layyin adalah perkataan yang mengandung anjuran, ajakan, pemberian contoh, di mana si pembicara berusaha meyakinkan pihak lain bahwa apa yang disampaikan adalah benar dan rasional, dengan tidak bermaksud merendahkan pendapat atau pandangan orang yang diajak bicara tersebut. Dengan demikian, qaul layyin adalah salah satu metode dakwah, karena tujuan utama dakwah adalah mengajak orang lain kepada kebenaran, bukan untuk memaksa dan unjuk kekuatan.[31]
Ada hal yang menarik untuk dikritisi, misalnya, kenapa Musa harus berkata lembut padahal Fir'aun adalah tokoh yang sangat jahat. Menurut al-Razi, ad dua alasan, pertama, sebab Musa pernah dididik dan ditanggung kehidupannya semasa bayi sampai dewasa. Hal ini, merupakan pendidikan bagi setiap orang, yakni bagaimana seharusnya bersikap kepada orang yang telah berjasa besar dalam hidupnya; kedua, biasanya seorang penguasa yang zalim itu cenderung bersikap lebih kasar dan kejam jika diperlakukan secara kasar dan dirasa tidak menghormatinya.[33]
f. Prinsip Qaul sadid
Di dalam al-Qur'an qaul sadid disebutkan dua kali, pertama, Q.s. an-Nisa'/4: 9:
وليخش الذين لو تركوا من خلفهم ذرية ضعافا خافوا عليهم فليتقوا الله و ليقولوا قولا سديدا (النساء/4: 9)
"Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir atas (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar." (Q.s. al-Nisa'/4: 9)
Ayat ini turun dalam kasus seseorang yang mau meninggal bermaksud mewasiyatkan seluruh kekayaan kepada orang lain, padahal anak-anaknya masih membutuhkan harta tersebut. Dalam kasus ini, perkataan yang harus disampaikan kepadanya harus tepat dan argumentatif. Inilah makna qaul sadīd. Misalnya, dengan perkatan, "bahwa anak-anakmu adalah yang paling berhak atas hartamu ini. Jika seluruhnya kamu wasiyatkan, bagaimana dengan nasib anak-anakmu kelak." Melalui ayat ini juga, Allah ingin mengingatkan kepada setiap orang tua hendaknya mempersiapkan masa depan anak-anaknya dengan sebaik-baiknya agar tidak hidup terlantar yang justru akan menjadi beban orang lain.
Dan kedua, Q.s. al-Ahzab/33: 70
يايهاالذين امنوا اتقوا الله و قولوا قولا سديدا (الاحزاب/33: 70)
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar. (Q.s. al-ahzab/33: 70)
Ayat ini diawali dengan seruan kepada orang-orang beriman. Hal ini menunjukkan bahwa salah satu konsekwensi keimanan adalah berkata dengan perkataan yang sadīd. Atau dengan istilah lain, qaul sadīd menduduki posisi yang cukup penting dalam konteks kualitas keimanan dan ketaqwaan seseorang. Sementara berkaitan dengan qaul sadid, terdapat banyak penafsiran, antara lain, perkataan yang jujur dan tepat sasaran.[35] perkataan yang lembut dan mengandung pemuliaan bagi pihak lain,[36] pembicaraan yang tepat sasaran dan logis,[37] perkataan yang tidak menyakitkan pihak lain,[38] perkataan yang memiliki kesesuaian antara yang diucapkan dengan apa yang ada di dalam hatinya.[39]
g. Prinsip Qaul Zur
Di dalam al-Qur'an, qaul zur hanya ditemukan sekali, Q.s. al-Hajj: 30:
ذلك ومن يعظم حرمات الله فهو خير له عند ربه, و احلت لكم الانعام الا ما يتلى عليكم فاجتنبوا الرجس من الاوثان و اجتنبوا قول الزور (الحج/22: 30)
"Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan apa yang terhormat di sisi Allah (hurumāt) maka itu lebih baik baginya di sisi Tuhannya. Dan dihalalkan bagi kamu semua hewan ternak, kecuali yang diterangkan kepadamu (keharamannya), maka jauhilah olehmu (penyembahan) berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan dusta. (Q.s. al-Hajj/22: 30)
Ayat ini dapat dipahami, bahwa ketika seseorang mengagungkan masya'ir haram dan memakan binatang yang dihalalkan, akan tetapi tidak menjauhi syirik dan perkataan dusta (zūr), maka pengagungan tersebut tidak memiliki dampak spiritual apapun bagi dirinya. Atau juga bisa dipahami bahwa perkataan dusta (zur) hakikatnya sama dengan menyembah berhala, dalam hal sama-sama mengikuti hawa nafsu. Atau lebih konkritnya, sama-sama menuhankan hawa nafsu.
Asal makna kata zūr adalah menyimpang/melenceng (mā`il). Perkataan zūr dimaknai kizb (dusta), karena menyimpang/melenceng dari yang semestinya atau yang dituju.[40] Qaul zūr juga ditafsirkan mengharamkan yang halal atau sebaliknya; serta saksi palsu. Rasulullah saw, sebagaimana dikutip oleh al-Razi, bersabda , "saksi palsu itu sebanding syirik.[41] Menurut al-Qurthubi, ayat ini mengandung ancaman bagi yang memberikan saksi dan sumpah palsu. Ia termasuk salah satu dosa besar,[42] bahkan termasuk tindak pidana.[43]
Membangun Komunikasi Beradab
Unsur yang terpenting di dalam komunikasi adalah komunikator, komunike, dan komunikan. Namun, ada hal di luar dari ketiga unsur ini ini, yaitu teknik atau cara. Bahkan, dalam beberapa kasus, seringkali cara lebih penting dari pada isi, sebagaimana dalam ungkapan Arab : الطريقة اهم من المادة "Cara lebih penting dari pada isi". Tentu saja, pernyataan ini masih bisa diperdebatkan; namun, yang perlu ditegaskan di sini adalah bahwa cara penyampaian (berkomunikasi) terkadang, atau bahkan, seringkali lebih penting dari isi. Dalam hal ini, bisa digambarkan melalui sebuah kasus. Ada seorang anak muda yang baru belajar agama. Di antara materi yang pernah didengar atau diterima adalah bahwa "setiap muslim harus berani berkata benar meskipun pahit". Setelah mendengar nasehat ini, yang tergambar pertama kali di benaknya adalah orang tuanya yang seringkali meninggalkan shalat atau bahkan tidak pernah shalat. Kemudian si anak muda tersebut, dengan maksud menasehati orang tuanya, menemui orang tuanya lalu berkata kepadanyan, "Pak...apa bapak gak takut masuk neraka, kok sampai setua ini bapak gak pernah shalat sih...". Pernyataan ini benar, tetapi rangkaian kata yang disampaikan cenderung meremehkan pihak lain, terlebih ia adalah orang tuanya sendiri atau orang yang usianya jauh lebih tua. Belum lagi, jika hal itu disampaikan dengan intonasi yang meninggi. Ini adalah contoh sederhana dari komunikasi yang tidak beradab.
Dengan demikian, komunikasi beradab, pada prinsipnya, merupakan suatu proses untuk mengkomunikasi kebenaran dan membangun hubungan sosial dengan komunikannya atau bermetakomunikasi. Sebab, miskomunikasi hanya akan menjadikan berpalingnya komunikan, yang berarti hilang pula informasi kebenaran itu. Inilah yang ditegaskan oleh al-Qur`an: "Maka disebabkan rahmat Allah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu..."(QS. Ali ‘Imran/3: 159)
Ayat ini secara khusus ditujukan Rasulullah saw, namun, secara umum, adalah dimaksud untuk mendidik umatnya, bagaimana car amenyikapi orang yang menolak kebenaran yang disampaikan kepadanya sebagai upaya untuk membangun sebuah komunikasi yang baik itu, yaitu dengan bersikap lembut dan santun, serta bertutur kata yang baik.[44]
Hanya saja, ayat ini juga memunculkan pertanyaan, apakah Rasulullah mendapatkan rahmat sehingga bersikap lemah lembut? Atau apakah Rasulullah bersikap lemah lembut, sehingga beliau memperoleh rahmat? Ayat di atas memang bisa dipahami secara berbalik, pertama, sebab rahmat Allah lah, Rasulullah saw bisa bersikap lemah lembut. Namun, pemahaman semacam ini akan menafikan suatu kenyataan bahwa Rasulullah adalah sosok yang berakhlaq sangat mulia. Bahkan, jauh sebelum turunnya ayat ini atau sebelum diangkat jadi Rasul. Oleh karena itu, penulis lebih cenderung memahami ayat tersebut dengan pemahaman kedua, yaitu bahwa rahmat dan keluhuran akhlaq menyatu secara berkelindan. Artinya, rahmat Allah tidak akan diberikan kepada hamba-Nya yang memang tidak layak untuk mendapatkannya.
Dengan demikian, ayat ini seharusnya dipandang sebagai bentuk penghargaan Allah kepada Rasulullah saw. Hasan al-Bashri berkata, "Ini merupakan akhlaq Rasulullah saw yang diutus oleh Allah untuk mendidik umatnya.[45] Sebagaimana yang kita ketahui bersama, bahwa Rasulullah menyandang dua predikat sekaligus, yaitu pemimpin agama dan pemimpin negara. Sebagai pemimpin agama, beliau telah berhasil mengkomunikasikan ajaran-ajaran Ilahi dengan cara yang sangat indah, terutama sekali yang terkait dengan ajaran-ajaran yang memiliki tingkat sensisifitas yang tinggi di kalangan masyarakat.[46] Sedangkan sebagai pemimpin negara, beliau telah berhasil membangun sebuah negara, yang didasarkan pada politik kesejahtaraan bukan politik kekuasaan. Dalam hal ini, beliau telah mengajarkan kepada umatnya bahwa kemampuan bermetakomunikasi secara tepat bukan saja untuk berkomunikasi yang berhasil, tetapi juga erat kaitannya dengan kesadaran diri sendiri dan orang lain.
Secara umum, upaya pembangunan komunikasi beradab bisa diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Komunikasi dan Pendidikan
Dalam konteks komunikasi beradab, pendidikan dalam hal lebih ditekankan kepada pendidikan berbasis karakter atau akhlaq. Sebuah pembangunan karakter (character building) tidak identik dengan transfer ilmu. Sehingga di dalam Islam diperkenalkan dengan isitilah tarbiyah yang berasal dari rabbā-yurabbī-tarbiyatan yang didefinisikan oleh al-Ishfahani, yaitu mendorong dan mengawal pihak lain menuju kepada kesempurnaannya.
Dengan mengacu pengertian tersebut, maka pendidikan bukanlah bersifat indokrinasi atau propaganda, akan tetapi, suatu proses yang bersifat komunikatif. Dalam hal ini, bisa digunakan prinsip-prinsip qaul maisūr, yaitu segala bentuk perkataan yang baik, lembut, dan melegakan; menjawab dengan cara yang sangat baik, benar dan tidak mengada-ada; mengucapkan dengan cara yang wajar. Semakin bertambah umur, maka metode yang digunakan tentu saja berbeda ketika masih anak-anak. Namun, secara prinsip tetap sama, yaitu melahirkan generasi yang berkaraker. Misalnya, pada saat sudah dewasa, maka yang diterapkan adalah prinsip-prinsip qaul sadīd, yang di antaranya adalah tepat sasaran dan logis, memiliki kesesuaian antara apa yang ada di dalam hati dengan yang diucapkan.
Di sini proses komunikasi pendidikan tidak hanya dipahami sebagai proses transfer pengetahuan yang bersifat satu arah; akan tetapi, harus ada upaya yang sungguh-sungguh dari pihak pendidik/ guru, sebagai komunikator, untuk mampu memberikan keteladan yang baik, sebagai upaya bermetakomunikasi. Juga kedua orang tuanya sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya. Bahkan, secara naluriah, seorang anak sangat senang dan bangga jika bisa meneladani kedua orang tuanya. Ketidak sempurnaan proses komunikasi pendidikan terjadi, misalnya hanya mengajarkan pelajaran-pelajaran yang berbasis kompetensi tetapi tidak menanamkan nilai-nilai berbasis karakter atau akhlaq. Bahkan, hal ini bisa dianggap sebagai bentuk kriminalitas pendidikan. Faktor kegagalan guru/orang tua dalam proses pendidikan, antara lain, disebabkan kegagalan membangun komunikasi yang beradab tersebut.
b. Komunikasi dan Masyarakat
Masyarakat adalah orang kebanyakan, yang secara sosial dan pendidikan biasanya rendah dan lemah. Sehingga, masyarakat merupakan suatu kelompok manusia yang paling mudah untuk dipengaruhi dan diprovokasi. Oleh karena itu, dalam konteks membangun hubungan masyarakat ini, seharusnya menerapkan prinsip-prinsip qaul balīgh, yaitu bahasanya tepat, sesuai dengan yang dikehendaki,dan isi perkataan adalah suatu kebenaran, bukan semata-mata bersifat profokatif dan manipulatif. Di sinilah, keluhuran akhlak si komunikator menjadi sangat penting, dalam konteks membangun hubungan sosial maupun politik. Sebab, pengetahuannya tentang khalayak tidak dimaksudkan untuk menipu dan memprovokasi. Akan tetapi untuk memahami, bernegosiasi, serta bersama-sama saling memuliakan kemanusiaannya.
Tidak bisa dibayangkan, bagaimana seandainya jiwa dan karakter sang komunikator itu tidak baik, seperti ambisius, serakah, dan lain-lain, maka kemampuan retorika dan logikanya justru akan dijadikan sebagai alat untuk mempengaruhi bahkan mencuci otak masyarakatnya demi memenuhi ambisinya, melanggengkan pengaruh dan kekuasaanya. Dalam hal ini, bisa dilihat pada kasus Fir'aun: "Dan Fir'aun berkata, "Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetaui tuhan bagimu selain aku..."Melalui kata-katanya ini Fir'aun ingin mempengarui pikiran dan jiwa mereka, bahwa ia memang layak diposisikan sebagai tuhan, karena pada kenyataannya hanya dialah yang bias menjamin tingkat kelayakan hidup rakyat Mesir saat itu. Fir'aun paham betul dengan apa yang diinginkan oleh rakyat Mesir, yaitu hidup sejahtera, layak, terpenuhinya seluruh kebutuhan hidupnya. Ia berusaha untuk memperoleh dukungan seluas-luasnya, bukan sekedar untuk memantapkan posisinya sebagai penguasa tanpa tanding, sekaligus utuk menjatuhkan lawan politiknya, Musa as.
c. Komunikasi dan Dakwah
Inti dakwah adalah mengajak orang lain untuk mengikuti apa yang diserukannya. Oleh karenanya, kemampuan berkomunikasi dan bermetakomunikasi dengan baik adalah menduduki posisi yang cukup strategis. Demikian itu, karena Islam memandang bahwa setiap muslim adalah da'i. Sebagai da'i, ia seantiasa dituntut untuk mau dan mampu mengkomunikasikan ajaran-ajaran Ilahi secara baik. Sebab, kesalahan dalam mengkomunikasikan ajaran Islam, justru akan membawa akibat yang cukup serius dalam perkembangan dakwah Islam itu sendiri.
Dalam firman Allah dinyatakan: "Hendaklah ada di antara kamu, suatu umat yang selalu mengajak kepada kebaikan, menyeru kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar " (QS. Ali ‘Imran/3: 104). Ayat tersebut memberi arahan kepada setiap anggota masyarakat, terutama umat muslim, agar selalu mengajak kepada kebaikan (al-khair), memerintahkan dengan ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar. Tentu saja, bukan tanpa sengaja jika ayat ini mendahulukan, da'wah ilā al-khair dari pada al-amr bil-ma'ruf. Meskipun dari sisi penerjemahan keduanya bisa saja memiliki arti yang sama, yaitu 'kebaikan', namun oleh para ahli tafsir, kata al-khair dipahami sebagai kebaikan yang bersifat universal, seperti keadilan, kejujuran, kepedulian sosial, dan lain-lain. Artinya, konsep ini juga harus dipandang sebagai konsep universal. Dengan demikian, mengajak kepada al-khair, sebenarnya juga menjadi concern bagi agama-agama di luar Islam. Sebab, setiap agama selalu menghendaki terciptanya kehidupan yang harmonis, aman, tentram, saling menghormati sesama, dan sebagainya. Oleh karena itu, sebagai bagian dari masyarakat, mereka harus memiliki komitmen yang sama untuk peduli terhadap segala bentuk prilaku-prilaku anti sosial yang terjadi di masyarakatnya. Dalam hal ini, umat muslim harus senantiasa tampil yang terdepan untuk menyeru atau mengkomunikasikan, sekaligus memberi keteladanan.
Dengan demikian, tegaknya nilai-nilai hubungan sosial yang luhur adalah sebagai kelanjutan dari tegaknya nilai-nilai keadaban itu. Artinya, masing-masing pribadi atau kelompok, dalam suatu lingkungan sosial yang lebih luas, memiliki kesediaan memandang yang lain dengan penghargaan, betapapun perbedaan yang ada, tanpa saling memaksakan kehendak, pendapat, atau pandangan sendiri. Masyarakat semacam ini pernah dibangun oleh Rasulullah saw sewaktu berada di Madinah; dan ini merupakan bukti konkrit dari keberhasilan dakwah beliau. Keberhasilan ini tentu saja suatu prestasi yang luar biasa yang tidak bisa begitu saja dipandang dari sisi kebenaran Islam dan keagungan al-Qur'an semata. Akan tetapi, ada faktor lain yang dianggap cukup dominan dalam konteks dakwah dan pembangunan masyarakat Madinah ini, yaitu kemampuan beliau dalam mengkomunikasikan ajaran-ajaran Ilahi tersebut dengan baik dan persuasif, yang ditopang oleh keluhuran budi pekerti beliau sendiri. Jika kita telusuri sirah (sejarah) Nabi, maka akan dijumpai betapa beliau telah menerapkan seluruh prinsip-prinsip komunikasi dalam al-Qur'an, sebgaimana diuraikan, secara konsisten
MANUSIA, di samping makhluk beragama, adalah makhluk sosial, yaitu makhluk yang selalu hidup bermasyarakat dan senantiasa membutuhkan peran-serta pihak lain. Artinya, berinteraksi sosial atau hidup bermasyarakat merupakan sesuatu yang tumbuh sesuai dengan fitrah dan kebutuhan kemanusiaan. Dalam hal ini, al-Qur`an banyak memberikan arahan atau nilai-nilai positif yang harus dikembangkan; juga nilai-nilai negatif yang semestinya untuk dihindarkan. Bahkan, di dalam QS. al-Hujurāt/49: 13, penggunaan redaksi ya ayyuhan-nas -walaupun ayatnya adalah madaniyah- menunjukkan bahwa saling mengenal yang dimaksudkan itu tidak membedakan suku, ras, bahasa, kebudayaan, bahkan ideologi. Maka, ketika manusia tidak peduli dengan lainnya, tidak mau saling mengenal atau, dengan istilah lain, ia lebih menonjolkan sikap egoistiknya, maka berarti ia telah kehilangan sifat dasar kemanusiaannya.
Manusia sebagai makhluk sosial menduduki posisi yang sangat penting dan strategis. Sebab, hanya manusialah satu-satunya makhluk yang diberi karunia bisa berbicara. Dengan kemampuan bicara itulah, memungkinkan manusia membangun hubungan sosialnya. Sebagaimana bisa dipahami dari firman Allah علمه البيان "mengajarnya pandai berbicara" (al-Rahmân/55: 4). Banyak penafsiran yang muncul berkenaan dengan kata al-bayān, namun yang paling kuat adalah berbicara (al-nuthq, al-kalām).[1] Hanya saja, menurut Ibn 'Asyur, kata al-bayān juga mencakup isyarah-isyarah lainnya, seperti kerlingan mata, anggukan kepala. Dengan demikian, al-bayān merupakan karunia yang terbesar bagi manusia. Bukan saja ia dapat dikenali jati dirinya, akan tetapi, ia menjadi pembeda dari binatan.[2]
Kemampuan bicara berarti kemampuan berkomunikasi. Berkomunikasi adalah sesuatu yang dihajatkan di hampir setiap kegiatan manusia. Dalam sebuah penelitian telah dibuktikan, hampir 75 % sejak bangun dari tidur manusia berada dalam kegiatan komunikasi. Dengan komunikasi kita dapat membentuk saling pengertian dan menumbuhkan persahabatan, memelihara kasih sayang, menyebarkan pengetahuan, dan melestarikan peradaban. Akan tetapi, dengan komunikasi, juga kita dapat menumbuh-suburkan perpecahan, menghidupkan permusuhan, menanamkan kebencian, merintangi kemajuan, dan menghambat pemikiran.[3]
Kenyataan ini sekaligus memberi gambaran betapa kegiatan komunikasi bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan oleh setiap manusia. Anggapan ini barangkali didasarkan atas dasar asumsi bahwa komunikasi merupakan suatu yang lumrah dan alamiah yang tidak perlu dipermasalahkan. Sedemikian lumrahnya, sehingga seseorang cenderung tidak melihat kompleksitasnya atau tidak menyadari bahwa dirinya sebenarnya berkekurangan atau tidak berkompeten dalam kegiatan pribadi yang paling pokok ini. Dengan demikian, berkomunikasi secara efektif sebenarnya merupakan suatu perbuatan yang paling sukar dan kompleks yang pernah dilakukan seseorang.[4]
Dalam sebuah ungkapan Arab disebutkan :الكلام صفة المتكلم Ucapan atau perkataan menggambarkan si pembicara'.[5] Dari pernyataan ini dapat dipahami bahwa perkataan/ucapan, atau dengan istilah lain, kemampuan berkomunikasi akan mencerminkan apakah seseorang adalah terpelajar atau tidak. Dengan demikian, berkomunikasi tidaklah identik dengan menyampaikan sebuah informasi. Para pakar komunikasi, sebagaimana yang dikutip oleh Jalaluddin Rahmat, berpendapat bahwa setiap komunikasi mengandung dua aspek, yaitu aspek isi dan aspek kandungan, di mana yang kedua mengklasifikasikan yang pertama dan karena itu merupakan metakomunikasi (di luar komunikasi). Komunikasi memang bukan hanya menyampaikan informasi tetapi yang terpenting adalah mengatur hubungan sosial di antara komunikan.[6]
Untuk itu, demi terciptanya suasana kehidupan yang harmonis antar anggota masyarakat, maka harus dikembangkan bentuk-bentuk komunikasi yang beradab, yang digambarkan oleh Jalaludin Rahmat, yaitu sebuah bentuk komunikasi di mana sang komunikator akan menghargai apa yang mereka hargai; ia berempati dan berusaha memahami realitas dari perspektif mereka. Pengetahuannya tentang khalayak bukanlah untuk menipu, tetapi untuk memahami mereka, dan bernegosiasi dengan mereka, serta bersama-sama saling memuliakan kemanusiaannya. Adapun gambaran kebalikannya yaitu apabila sang komunikator menjadikan pihak lain sebagai obyek; ia hanya menuntut agar orang lain bias memahami pendapatnya; sementara itu, ia sendiri tidak bisa menghormati pendapat orang lain. Dalam komunikasi bentuk kedua ini, bukan saja ia telah mendehumanisasikan mereka, tetapi juga dirinya sendiri.[7]
Prinsip-prinsip Komunikasi dalam al-Qur'an
Ada hal penting yang lebih dulu dijelaskan terkait dengan tema bahasan di atas. Pertama, al-Qur'an tidak memberikan uraian secara spesifik tentang komunikasi. Kata 'komunikasi' berasal dari bahasa Latin, communicatio, dan bersumber dari kata cummunis yang berarti sama, maksudnya sama makna. Artinya, suatu komunikasi dikatakan komunikatif jika antara masing-masing pihak mengerti bahasa yang digunakan, dan paham terhadap apa yang dipercakapkan.[8]
Dalam proses komunikasi, paling tidak, terdapat tiga unsur, yaitu komunikator, media dan komunikan.[9]
Para pakar komunikasi juga menjelaskan bahwa komunikasi tidak hanya bersifat informatif, yakni agar orang lain mengerti dan paham, tetapi juga persuasif, yaitu agar orang lain mau menerima ajaran atau informasi yang disampaikan, melakukan kegiatan atau perbuatan, dan lain-lain. Bahkan menurut Hovland, seperti yang dikutip oleh Onong, bahwa berkomunikasi bukan hanya terkait dengan penyampaian informasi, akan tetapi juga bertujuan pembentukan pendapat umum (public opinion) dan sikap publik (public attitude).[10]
Kedua, meskipun al-Qur'an secara spesifik tidak membicarakan masalah komunikasi, namun, jika diteliti ada banyak ayat yang memberikan gambaran umum prinsip-prinsip komunikasi. Dalam hal ini, penulis akan merujuk kepada term-term khusus yang diasumsikan sebagai penjelasan dari prinsip-prinsip komunikasi tersebut. Antara lain, term qaulan balighan, qaulan maisuran, qaulan kariman, qaulan ma'rufan, qaulan layyinan, qaulan sadidan, juga termasuk qaul al-zur, dan lain-lain.
a. Prinsip Qaul baligh
Di dalam al-Qur'an term qaul baligh hanya disebutkan sekali, yaitu surah an-Nisa': 63:
فكيف إذا أصابتهم مصيبة بما قدمت أيديهم ثم جاءوك يحلفون بالله إن أردنا إلا إحسانا وتوفيقا, أولئك الذين يعلم الله ما فى قلوبهم فأعرض عنهم و عظهم و قل لهم فى أنفسهم قولا بليغا (النساء/4: 62-63)
"Maka bagaimana halnya apabila (kelak) musibah menimpa mereka (orang munafik) disebabkan perbuatan tangannya sendiri, kemudian mereka datang kepadamu (Muhammad) sambil bersumpah, "Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain kebaikan dan kedamaian." Mereka itu adalah orang-orang yang (sesungguhnya) Allah mengetahui apa yang ada di dalam hatinya. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka nasihat, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang membekas pada jiwanya. (Q.s. an-Nisa'/4: 62-63)
Ayat ini menginformasikan tentang kebusukan hati kaum munafik, bahwa mereka tidak akan pernah bertahkim kepada Rasulullah saw, meski mereka bersumpah atas nama Allah, kalau apa yang mereka lakukan semata-mata hanya menghendaki kebaikan. Walapun begitu, beliau dilarang menghukum mereka secara fisik (makna dari "berpalinglah dari mereka"), akan tetapi, cukup memberi nasehat sekaligus ancaman bahwa perbuatan buruknya akan mengakibatkan turunnya siksa Allah,[11] dan berkata kepada mereka dengan perkataan yang baligh.
Term balīgh, yang berasal dari ba la gha, oleh para ahli bahasa dipahami sampainya sesuatu kepada sesuatu yang lain. Juga bisa dimaknai dengan "cukup" (al-kifāyah). Sehingga perkataan yang balīgh adalah perkataan yang merasuk dan membekas dalam jiwa.[12] Sementara menurut al-Ishfahani,[13] bahwa perkataan tersebut mengandung tiga unsur utama, yaitu bahasanya tepat, sesuai dengan yang dikehendaki, dan isi perkataan adalah suatu kebenaran. Sedangkan term balīgh dalam konteks pembicara dan lawan bicara, adalah bahwa si pembicara secara sengaja hendak menyampaikan sesuatu dengan cara yang benar agar bisa diterima oleh pihak yang diajak bicara.
Secara rinci, para pakar sastra, seperti yang dikutip oleh Quraish Shihab, membuat kriteria-kriteria khusus tentang suatu pesan dianggap balīgh, antara lain:[14]
Tertampungnya seluruh pesan dalam kalimat yang disampaikan
Kalimatnya tidak bertele-tele, juga tidak terlalu pendek sehingga pengertiannya menjadi kabur
Pilihan kosa katanya tidak dirasakan asing bagi si pendengar
Kesesuaian kandungan dan gaya bahasa dengan lawan bicara
Kesesuaian dengan tata bahasa.
b. Prinsip Qaul karim
Term ini ditemukan di dalam al-Qur'an hanya sekali, yaitu surah al-Isra': 23:
و قضى ربك الا تعبدوا إلا إياه و بالوالدين احسانا, امايبلغن عندك الكبر احدهما او كلاهما فلا تقل لهما اف ولا تنهرهما و قل لهما قولا كريما (الاسراء/17: 23):
"Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik." (Q.s. al-Isra'/17: 23(
Ayat di atas menginformasikan bahwa ada dua ketetapan Allah yang menjadi kewajiban setiap manusia, yaitu menyembah Allah dan berbakti kepada kedua orang tua. Ajaran ini sebenarnya ajaran kemanusiaan yang bersifat umum, karena setiap manusia pasti menyandang dua predikat ini sekaligus, yakni sebagai makhluk ciptaan Allah, yang oleh karenanya harus menghamba kepada-Nya semata; dan anak dari kedua orang tuanya. Sebab, kedua orang tuanyalah yang menjadi perantara kehadirannya di muka bumi ini. Bukan hanya itu, struktur ayat ini, di mana dua pernyataan tersebut dirangkai dengan huruf wawu 'athaf, yang salah satu fungsinya adalah menggabungkan dua pernyataan yang tidak bisa saling dipisahkan, menunjukkan bahwa berbakti kepada kedua orag tua menjadi parameter bagi kualitas penghambaan manusia kepada Allah.
Dalam sebuah hadis dinyatakan:
عن أبى هريرة عن النبى صلى الله عليه وسلم قال رغم أنف ثم رغم أنف ثم رغم انف: رجل ادرك أحد أبويه او كلاهما عنده الكبر لم يدخل الجنة (رواه أحمد)
Dari Abi Hurairah r.a., dari Nabi Saw. Bersabda, "Merugilah 3 x, seseorang yang menemukan salah satu atau kedua orang tuanya sudah lanjut usia tidak bisa masuk surga. (H.r. Ahmad)
Berkaitan dengan inilah, al-Qur'an memberikan petunjuk bagaimana cara berprilaku dan berkomunikasi secara baik dan benar kepada kedua orang tua, terutama sekali, di saat keduanya atau salah satunya sudah berusia lanjut. Dalam hal ini, al-Qur'an menggunakan term karīm, yang secara kebahasaan berarti mulia. Term ini bisa disandarkan kepada Allah, misalnya, Allah Maha Karim, artinya Allah Maha Pemurah; juga bisa disandarkan kepada manusia, yaitu menyangkut keluhuran akhlak dan kebaikan prilakunya. Artinya, seseorang akan dikatakan karim, jika kedua hal itu benar-benar terbukti dan terlihat dalam kesehariannya.[15]
Namun, jika term karīm dirangkai dengan kata qaul atau perkataan, maka berarti suatu perkataan yang menjadikan pihak lain tetap dalam kemuliaan, atau perkataan yang membawa manfaat bagi pihak lain tanpa bermaksud merendahkan.[16] Di sinilah Sayyid Quthb menyatakan bahwa perkataan yang karīm, dalam konteks hubungan dengan kedua orang tua, pada hakikatnya adalah tingkatan yang tertinggi yang harus dilakukan oleh seorang anak. Yakni, bagaimana ia berkata kepadanya, namun keduanya tetap merasa dimuliakan dan dihormati.[17] Ibn 'Asyur menyatakan bahwa qaul karīm adalah perkataan yang tidak memojokkan pihak lain yang membuat dirinya merasa seakan terhina. Contoh yang paling jelas adalah ketika seorang anak ingin menasehati orang tuanya yang salah, yakni dengan tetap menjaga sopan santun dan tidak bermaksud menggurui, apalagi sampai menyinggung perasaannya.[18] Yang pasti qaul karīm, adalah setiap perkataan yang dikenal lembut, baik, yang mengandung unsur pemuliaan dan penghormatan.
c. Prinsip Qaul Maisūr
Di dalam al-Qur'an hanya ditemukan sekali saja, yaitu surah al-Isra'/17: 28:
و إما تعرضن عنهم ابتغاء رحمة من ربك ترجوها فقل لهم قولاميسورا (الاسراء/17: 28)
"Dan jika engkau berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang engkau harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang lemah lembut." (Q.s. al-Isra'/17: 28)
Ibn Zaid berkata, "Ayat ini turun berkenaan dengan kasus suatu kaum yang minta sesuatu kepada Rasulullah saw namun beliau tidak mengabulkan permintaannya, sebab beliau tahu kalau mereka seringkali membelanjakan harta kepada hal-hal yang tidak bermanfaat. Sehingga berpalingnya beliau adalah semata-mata karena berharap pahala. Sebab, dengan begitu beliau tidak mendukung kebiasaan buruknya dalam menghambur-hamburkan harta. Namun begitu, harus tetap berkata dengan perkataan yang menyenangkan atau melegakan."[19]
Ayat ini juga mengajarkan, apabila kita tidak bisa memberi atau mengabulkan permintaan karena memang tidak ada, maka harus disertai dengan perkataan yang baik dan alasan-alasan yang rasional. Pada prinsipnya, qaul maisūr adalah segala bentuk perkataan yang baik, lembut, dan melegakan.[20] Ada juga yang menjelaskan, qaul maisūr adalah menjawab dengan cara yang sangat baik, perkataan yang lembut dan tidak mengada-ada. Ada juga yang mengidentikkan qaul maisūr dengan qaul ma'rūf. Artinya, perkataan yang maisūr adalah ucapan yang wajar dan sudah dikenal sebagai perkataan yang baik bagi masyarakat setempat.[21]
d. Prinsip Qaul ma'ruf
Di dalam al-Qur'an term ini disebutkan sebanyak empat kali, yaitu Q.s. al-Baqarah/2: 235, al-Nisa'/4: 5 dan 8, al-Ahzab/33: 32. Di dalam Q.s. al-Baqarah/2: 235, qaul ma'ruf disebutkan dalam konteks meminang wanita yang telah ditinggal mati suaminya. Sementara di dalam Q.s. an-Nisa'/4: 5 dan 8, qaul ma'ruf dinyatakan dalam konteks tanggung jawab atas harta seorang anak yang belum memanfaatkannya secara benar (safih). Sedangkan di Q.s. al-Ahzab/33: 32, qaul ma'ruf disebutkan dalam konteks istri-istri Nabi Saw.
Kata ma'ruf disebutkan di dalam al-Qur'an sebanyak 38 kali, yang bisa diperinci sebagai berikut
Terkait dengan tebusan dalam masalah pembunuhan setelah mendapatkan pemaafan terkait dengan wasiyat
Terkait dengan persoalan thalaq, nafkah, mahar, 'iddah, pergaulan suami-istri
Terkait dengan dakwah
Terkait dengan pengelolaan harta anak yatim
Terkait dengan pembicaraan atau ucapan
Terkait dengan ketaatan kepada Allah da Rasul-Nya
Menurut al-Ishfahani, term ma'ruf menyangkut segala bentuk perbuatan yang dinilai baik oleh akal dan syara'.[25] Dari sinilah kemudian muncul pengertian bahwa ma'ruf adalah kebaikan yang bersifat lokal. Sebab, jika akal dijadikan sebagai dasar pertimbangan dari setiap kebaikan yang muncul, maka tidak akan sama dari masing-masing daerah dan lokasi.
Misalnya dalam kasus pembagian warisan, dimana saat itu juga hadir beberapa kerabat yang ternyata tidak memperoleh bagian warisan, juga orang-orang miskin dan anak-anak yatim, oleh al-Qur'an diperintahkan agar berkata kepada mereka dengan perkataan yang ma'ruf. Hal ini sangatlah tepat, karena perkataan baik tidak bias diformulasikan secara pasti, karena hanya akan membatasi dari apa yang dikehandaki oleh al-Qur'an. Di samping itu, juga akan terkait dengan budaya dan adat istiadat yang berlaku di masing-masing daerah. Boleh jadi, suatu perkataan dianggap ma'ruf oleh suatu daerah, ternyata tidak ma'ruf bagi daerah lain. Begitu juga, dalam kasus-kasus lain sebagaimana yang diungkapkan oleh al-Qur'an, seperti meminang wanita yang sudah habis masa 'iddahnya, menasehati istri, memberi pengertian kepada anak yatim menyangktu pengelolaan hartanya. Sementara menurut Ibn 'Asyur, qaul ma'ruf adalah perkataan baik yang melegakan dan menyenangkan lawan bicaranya.[26]
Dalam beberapa konteks al-Razi menjelaskan, bahwa qaul ma'ruf adalah perkataan yang baik, yang menancap ke dalam jiwa, sehingga yang diajak bicara tidak merasa dianggap bodoh (safih);[27] perkataan yang mengandung penyesalan ketika tidak bisa memberi atau membantu;[28] Perkataan yang tidak menyakitkan dan yang sudah dikenal sebagai perkataan yang baik.[29]
e. Prinsip Qaul layyin
Di dalam al-Qur'an hanya ditemukan sekali saja, Q.s. Thaha/ 20: 44:
اذهبا الى فرعون انه طغى. فقولا له قولا لينا لعله يتذكر او يخشى (طه/20: 43-44)
"Pergilah kamu bedua kepada Fir'aun, sesungguhnya dia benar-benar telah melampaui batas; maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir'aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut." (Q.s. Thaha/20: 43-44)
Ayat ini memaparkan kisah nabi Musa dan Harun ketika diperintahkan untuk menghadapi Fir'aun, yaitu agar keduanya berkata kepada Fir'aun dengan perkataan yang layyin. Asal makna layyin adalah lembut atau gemulai, yang pada mulanya digunakan untuk menunjuk gerakan tubuh. Kemudian kata ini dipinjam (isti'arah) untuk menunjukkan perkataan yang lembut.[30] Sementara yang dimaksud dengan qaul layyin adalah perkataan yang mengandung anjuran, ajakan, pemberian contoh, di mana si pembicara berusaha meyakinkan pihak lain bahwa apa yang disampaikan adalah benar dan rasional, dengan tidak bermaksud merendahkan pendapat atau pandangan orang yang diajak bicara tersebut. Dengan demikian, qaul layyin adalah salah satu metode dakwah, karena tujuan utama dakwah adalah mengajak orang lain kepada kebenaran, bukan untuk memaksa dan unjuk kekuatan.[31]
Ada hal yang menarik untuk dikritisi, misalnya, kenapa Musa harus berkata lembut padahal Fir'aun adalah tokoh yang sangat jahat. Menurut al-Razi, ad dua alasan, pertama, sebab Musa pernah dididik dan ditanggung kehidupannya semasa bayi sampai dewasa. Hal ini, merupakan pendidikan bagi setiap orang, yakni bagaimana seharusnya bersikap kepada orang yang telah berjasa besar dalam hidupnya; kedua, biasanya seorang penguasa yang zalim itu cenderung bersikap lebih kasar dan kejam jika diperlakukan secara kasar dan dirasa tidak menghormatinya.[33]
f. Prinsip Qaul sadid
Di dalam al-Qur'an qaul sadid disebutkan dua kali, pertama, Q.s. an-Nisa'/4: 9:
وليخش الذين لو تركوا من خلفهم ذرية ضعافا خافوا عليهم فليتقوا الله و ليقولوا قولا سديدا (النساء/4: 9)
"Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir atas (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar." (Q.s. al-Nisa'/4: 9)
Ayat ini turun dalam kasus seseorang yang mau meninggal bermaksud mewasiyatkan seluruh kekayaan kepada orang lain, padahal anak-anaknya masih membutuhkan harta tersebut. Dalam kasus ini, perkataan yang harus disampaikan kepadanya harus tepat dan argumentatif. Inilah makna qaul sadīd. Misalnya, dengan perkatan, "bahwa anak-anakmu adalah yang paling berhak atas hartamu ini. Jika seluruhnya kamu wasiyatkan, bagaimana dengan nasib anak-anakmu kelak." Melalui ayat ini juga, Allah ingin mengingatkan kepada setiap orang tua hendaknya mempersiapkan masa depan anak-anaknya dengan sebaik-baiknya agar tidak hidup terlantar yang justru akan menjadi beban orang lain.
Dan kedua, Q.s. al-Ahzab/33: 70
يايهاالذين امنوا اتقوا الله و قولوا قولا سديدا (الاحزاب/33: 70)
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar. (Q.s. al-ahzab/33: 70)
Ayat ini diawali dengan seruan kepada orang-orang beriman. Hal ini menunjukkan bahwa salah satu konsekwensi keimanan adalah berkata dengan perkataan yang sadīd. Atau dengan istilah lain, qaul sadīd menduduki posisi yang cukup penting dalam konteks kualitas keimanan dan ketaqwaan seseorang. Sementara berkaitan dengan qaul sadid, terdapat banyak penafsiran, antara lain, perkataan yang jujur dan tepat sasaran.[35] perkataan yang lembut dan mengandung pemuliaan bagi pihak lain,[36] pembicaraan yang tepat sasaran dan logis,[37] perkataan yang tidak menyakitkan pihak lain,[38] perkataan yang memiliki kesesuaian antara yang diucapkan dengan apa yang ada di dalam hatinya.[39]
g. Prinsip Qaul Zur
Di dalam al-Qur'an, qaul zur hanya ditemukan sekali, Q.s. al-Hajj: 30:
ذلك ومن يعظم حرمات الله فهو خير له عند ربه, و احلت لكم الانعام الا ما يتلى عليكم فاجتنبوا الرجس من الاوثان و اجتنبوا قول الزور (الحج/22: 30)
"Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan apa yang terhormat di sisi Allah (hurumāt) maka itu lebih baik baginya di sisi Tuhannya. Dan dihalalkan bagi kamu semua hewan ternak, kecuali yang diterangkan kepadamu (keharamannya), maka jauhilah olehmu (penyembahan) berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan dusta. (Q.s. al-Hajj/22: 30)
Ayat ini dapat dipahami, bahwa ketika seseorang mengagungkan masya'ir haram dan memakan binatang yang dihalalkan, akan tetapi tidak menjauhi syirik dan perkataan dusta (zūr), maka pengagungan tersebut tidak memiliki dampak spiritual apapun bagi dirinya. Atau juga bisa dipahami bahwa perkataan dusta (zur) hakikatnya sama dengan menyembah berhala, dalam hal sama-sama mengikuti hawa nafsu. Atau lebih konkritnya, sama-sama menuhankan hawa nafsu.
Asal makna kata zūr adalah menyimpang/melenceng (mā`il). Perkataan zūr dimaknai kizb (dusta), karena menyimpang/melenceng dari yang semestinya atau yang dituju.[40] Qaul zūr juga ditafsirkan mengharamkan yang halal atau sebaliknya; serta saksi palsu. Rasulullah saw, sebagaimana dikutip oleh al-Razi, bersabda , "saksi palsu itu sebanding syirik.[41] Menurut al-Qurthubi, ayat ini mengandung ancaman bagi yang memberikan saksi dan sumpah palsu. Ia termasuk salah satu dosa besar,[42] bahkan termasuk tindak pidana.[43]
Membangun Komunikasi Beradab
Unsur yang terpenting di dalam komunikasi adalah komunikator, komunike, dan komunikan. Namun, ada hal di luar dari ketiga unsur ini ini, yaitu teknik atau cara. Bahkan, dalam beberapa kasus, seringkali cara lebih penting dari pada isi, sebagaimana dalam ungkapan Arab : الطريقة اهم من المادة "Cara lebih penting dari pada isi". Tentu saja, pernyataan ini masih bisa diperdebatkan; namun, yang perlu ditegaskan di sini adalah bahwa cara penyampaian (berkomunikasi) terkadang, atau bahkan, seringkali lebih penting dari isi. Dalam hal ini, bisa digambarkan melalui sebuah kasus. Ada seorang anak muda yang baru belajar agama. Di antara materi yang pernah didengar atau diterima adalah bahwa "setiap muslim harus berani berkata benar meskipun pahit". Setelah mendengar nasehat ini, yang tergambar pertama kali di benaknya adalah orang tuanya yang seringkali meninggalkan shalat atau bahkan tidak pernah shalat. Kemudian si anak muda tersebut, dengan maksud menasehati orang tuanya, menemui orang tuanya lalu berkata kepadanyan, "Pak...apa bapak gak takut masuk neraka, kok sampai setua ini bapak gak pernah shalat sih...". Pernyataan ini benar, tetapi rangkaian kata yang disampaikan cenderung meremehkan pihak lain, terlebih ia adalah orang tuanya sendiri atau orang yang usianya jauh lebih tua. Belum lagi, jika hal itu disampaikan dengan intonasi yang meninggi. Ini adalah contoh sederhana dari komunikasi yang tidak beradab.
Dengan demikian, komunikasi beradab, pada prinsipnya, merupakan suatu proses untuk mengkomunikasi kebenaran dan membangun hubungan sosial dengan komunikannya atau bermetakomunikasi. Sebab, miskomunikasi hanya akan menjadikan berpalingnya komunikan, yang berarti hilang pula informasi kebenaran itu. Inilah yang ditegaskan oleh al-Qur`an: "Maka disebabkan rahmat Allah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu..."(QS. Ali ‘Imran/3: 159)
Ayat ini secara khusus ditujukan Rasulullah saw, namun, secara umum, adalah dimaksud untuk mendidik umatnya, bagaimana car amenyikapi orang yang menolak kebenaran yang disampaikan kepadanya sebagai upaya untuk membangun sebuah komunikasi yang baik itu, yaitu dengan bersikap lembut dan santun, serta bertutur kata yang baik.[44]
Hanya saja, ayat ini juga memunculkan pertanyaan, apakah Rasulullah mendapatkan rahmat sehingga bersikap lemah lembut? Atau apakah Rasulullah bersikap lemah lembut, sehingga beliau memperoleh rahmat? Ayat di atas memang bisa dipahami secara berbalik, pertama, sebab rahmat Allah lah, Rasulullah saw bisa bersikap lemah lembut. Namun, pemahaman semacam ini akan menafikan suatu kenyataan bahwa Rasulullah adalah sosok yang berakhlaq sangat mulia. Bahkan, jauh sebelum turunnya ayat ini atau sebelum diangkat jadi Rasul. Oleh karena itu, penulis lebih cenderung memahami ayat tersebut dengan pemahaman kedua, yaitu bahwa rahmat dan keluhuran akhlaq menyatu secara berkelindan. Artinya, rahmat Allah tidak akan diberikan kepada hamba-Nya yang memang tidak layak untuk mendapatkannya.
Dengan demikian, ayat ini seharusnya dipandang sebagai bentuk penghargaan Allah kepada Rasulullah saw. Hasan al-Bashri berkata, "Ini merupakan akhlaq Rasulullah saw yang diutus oleh Allah untuk mendidik umatnya.[45] Sebagaimana yang kita ketahui bersama, bahwa Rasulullah menyandang dua predikat sekaligus, yaitu pemimpin agama dan pemimpin negara. Sebagai pemimpin agama, beliau telah berhasil mengkomunikasikan ajaran-ajaran Ilahi dengan cara yang sangat indah, terutama sekali yang terkait dengan ajaran-ajaran yang memiliki tingkat sensisifitas yang tinggi di kalangan masyarakat.[46] Sedangkan sebagai pemimpin negara, beliau telah berhasil membangun sebuah negara, yang didasarkan pada politik kesejahtaraan bukan politik kekuasaan. Dalam hal ini, beliau telah mengajarkan kepada umatnya bahwa kemampuan bermetakomunikasi secara tepat bukan saja untuk berkomunikasi yang berhasil, tetapi juga erat kaitannya dengan kesadaran diri sendiri dan orang lain.
Secara umum, upaya pembangunan komunikasi beradab bisa diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Komunikasi dan Pendidikan
Dalam konteks komunikasi beradab, pendidikan dalam hal lebih ditekankan kepada pendidikan berbasis karakter atau akhlaq. Sebuah pembangunan karakter (character building) tidak identik dengan transfer ilmu. Sehingga di dalam Islam diperkenalkan dengan isitilah tarbiyah yang berasal dari rabbā-yurabbī-tarbiyatan yang didefinisikan oleh al-Ishfahani, yaitu mendorong dan mengawal pihak lain menuju kepada kesempurnaannya.
Dengan mengacu pengertian tersebut, maka pendidikan bukanlah bersifat indokrinasi atau propaganda, akan tetapi, suatu proses yang bersifat komunikatif. Dalam hal ini, bisa digunakan prinsip-prinsip qaul maisūr, yaitu segala bentuk perkataan yang baik, lembut, dan melegakan; menjawab dengan cara yang sangat baik, benar dan tidak mengada-ada; mengucapkan dengan cara yang wajar. Semakin bertambah umur, maka metode yang digunakan tentu saja berbeda ketika masih anak-anak. Namun, secara prinsip tetap sama, yaitu melahirkan generasi yang berkaraker. Misalnya, pada saat sudah dewasa, maka yang diterapkan adalah prinsip-prinsip qaul sadīd, yang di antaranya adalah tepat sasaran dan logis, memiliki kesesuaian antara apa yang ada di dalam hati dengan yang diucapkan.
Di sini proses komunikasi pendidikan tidak hanya dipahami sebagai proses transfer pengetahuan yang bersifat satu arah; akan tetapi, harus ada upaya yang sungguh-sungguh dari pihak pendidik/ guru, sebagai komunikator, untuk mampu memberikan keteladan yang baik, sebagai upaya bermetakomunikasi. Juga kedua orang tuanya sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya. Bahkan, secara naluriah, seorang anak sangat senang dan bangga jika bisa meneladani kedua orang tuanya. Ketidak sempurnaan proses komunikasi pendidikan terjadi, misalnya hanya mengajarkan pelajaran-pelajaran yang berbasis kompetensi tetapi tidak menanamkan nilai-nilai berbasis karakter atau akhlaq. Bahkan, hal ini bisa dianggap sebagai bentuk kriminalitas pendidikan. Faktor kegagalan guru/orang tua dalam proses pendidikan, antara lain, disebabkan kegagalan membangun komunikasi yang beradab tersebut.
b. Komunikasi dan Masyarakat
Masyarakat adalah orang kebanyakan, yang secara sosial dan pendidikan biasanya rendah dan lemah. Sehingga, masyarakat merupakan suatu kelompok manusia yang paling mudah untuk dipengaruhi dan diprovokasi. Oleh karena itu, dalam konteks membangun hubungan masyarakat ini, seharusnya menerapkan prinsip-prinsip qaul balīgh, yaitu bahasanya tepat, sesuai dengan yang dikehendaki,dan isi perkataan adalah suatu kebenaran, bukan semata-mata bersifat profokatif dan manipulatif. Di sinilah, keluhuran akhlak si komunikator menjadi sangat penting, dalam konteks membangun hubungan sosial maupun politik. Sebab, pengetahuannya tentang khalayak tidak dimaksudkan untuk menipu dan memprovokasi. Akan tetapi untuk memahami, bernegosiasi, serta bersama-sama saling memuliakan kemanusiaannya.
Tidak bisa dibayangkan, bagaimana seandainya jiwa dan karakter sang komunikator itu tidak baik, seperti ambisius, serakah, dan lain-lain, maka kemampuan retorika dan logikanya justru akan dijadikan sebagai alat untuk mempengaruhi bahkan mencuci otak masyarakatnya demi memenuhi ambisinya, melanggengkan pengaruh dan kekuasaanya. Dalam hal ini, bisa dilihat pada kasus Fir'aun: "Dan Fir'aun berkata, "Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetaui tuhan bagimu selain aku..."Melalui kata-katanya ini Fir'aun ingin mempengarui pikiran dan jiwa mereka, bahwa ia memang layak diposisikan sebagai tuhan, karena pada kenyataannya hanya dialah yang bias menjamin tingkat kelayakan hidup rakyat Mesir saat itu. Fir'aun paham betul dengan apa yang diinginkan oleh rakyat Mesir, yaitu hidup sejahtera, layak, terpenuhinya seluruh kebutuhan hidupnya. Ia berusaha untuk memperoleh dukungan seluas-luasnya, bukan sekedar untuk memantapkan posisinya sebagai penguasa tanpa tanding, sekaligus utuk menjatuhkan lawan politiknya, Musa as.
c. Komunikasi dan Dakwah
Inti dakwah adalah mengajak orang lain untuk mengikuti apa yang diserukannya. Oleh karenanya, kemampuan berkomunikasi dan bermetakomunikasi dengan baik adalah menduduki posisi yang cukup strategis. Demikian itu, karena Islam memandang bahwa setiap muslim adalah da'i. Sebagai da'i, ia seantiasa dituntut untuk mau dan mampu mengkomunikasikan ajaran-ajaran Ilahi secara baik. Sebab, kesalahan dalam mengkomunikasikan ajaran Islam, justru akan membawa akibat yang cukup serius dalam perkembangan dakwah Islam itu sendiri.
Dalam firman Allah dinyatakan: "Hendaklah ada di antara kamu, suatu umat yang selalu mengajak kepada kebaikan, menyeru kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar " (QS. Ali ‘Imran/3: 104). Ayat tersebut memberi arahan kepada setiap anggota masyarakat, terutama umat muslim, agar selalu mengajak kepada kebaikan (al-khair), memerintahkan dengan ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar. Tentu saja, bukan tanpa sengaja jika ayat ini mendahulukan, da'wah ilā al-khair dari pada al-amr bil-ma'ruf. Meskipun dari sisi penerjemahan keduanya bisa saja memiliki arti yang sama, yaitu 'kebaikan', namun oleh para ahli tafsir, kata al-khair dipahami sebagai kebaikan yang bersifat universal, seperti keadilan, kejujuran, kepedulian sosial, dan lain-lain. Artinya, konsep ini juga harus dipandang sebagai konsep universal. Dengan demikian, mengajak kepada al-khair, sebenarnya juga menjadi concern bagi agama-agama di luar Islam. Sebab, setiap agama selalu menghendaki terciptanya kehidupan yang harmonis, aman, tentram, saling menghormati sesama, dan sebagainya. Oleh karena itu, sebagai bagian dari masyarakat, mereka harus memiliki komitmen yang sama untuk peduli terhadap segala bentuk prilaku-prilaku anti sosial yang terjadi di masyarakatnya. Dalam hal ini, umat muslim harus senantiasa tampil yang terdepan untuk menyeru atau mengkomunikasikan, sekaligus memberi keteladanan.
Dengan demikian, tegaknya nilai-nilai hubungan sosial yang luhur adalah sebagai kelanjutan dari tegaknya nilai-nilai keadaban itu. Artinya, masing-masing pribadi atau kelompok, dalam suatu lingkungan sosial yang lebih luas, memiliki kesediaan memandang yang lain dengan penghargaan, betapapun perbedaan yang ada, tanpa saling memaksakan kehendak, pendapat, atau pandangan sendiri. Masyarakat semacam ini pernah dibangun oleh Rasulullah saw sewaktu berada di Madinah; dan ini merupakan bukti konkrit dari keberhasilan dakwah beliau. Keberhasilan ini tentu saja suatu prestasi yang luar biasa yang tidak bisa begitu saja dipandang dari sisi kebenaran Islam dan keagungan al-Qur'an semata. Akan tetapi, ada faktor lain yang dianggap cukup dominan dalam konteks dakwah dan pembangunan masyarakat Madinah ini, yaitu kemampuan beliau dalam mengkomunikasikan ajaran-ajaran Ilahi tersebut dengan baik dan persuasif, yang ditopang oleh keluhuran budi pekerti beliau sendiri. Jika kita telusuri sirah (sejarah) Nabi, maka akan dijumpai betapa beliau telah menerapkan seluruh prinsip-prinsip komunikasi dalam al-Qur'an, sebgaimana diuraikan, secara konsisten
definisi komunikasi islam atau dakwah
Komunikasi Islam adalah proses penyampaian pesan-pesan keislaman dengan menggunakan prinsip-prinsip komunikasi dalam Islam. Dengan pengertian demikian, maka komunikasi Islam menekankan pada unsur pesan (message), yakni risalah atau nilai-nilai Islam, dan cara (how), dalam hal ini tentang gaya bicara dan penggunaan bahasa (retorika).
Pesan-pesan keislaman yang disampaikan dalam komunikasi Islam meliputi seluruh ajaran Islam, meliputi akidah (iman), syariah (Islam), dan akhlak (ihsan).
Soal cara (kaifiyah), dalam Al-Quran dan Al-Hadits ditemukan berbagai panduan agar komunikasi berjalan dengan baik dan efektif. Kita dapat mengistilahkannya sebagai kaidah, prinsip, atau etika berkomunikasi dalam perspektif Islam.
Kaidah, prinsip, atau etika komunikasi Islam ini merupakan panduan bagi kaum Muslim dalam melakukan komunikasi, baik dalam komunikasi intrapersonal, interpersonal dalam pergaulan sehari hari, berdakwah secara lisan dan tulisan, maupun dalam aktivitas lain.
Dalam berbagai literatur tentang komunikasi Islam kita dapat menemukan setidaknya enam jenis gaya bicara atau pembicaraan (qaulan) yang dikategorikan sebagai kaidah, prinsip, atau etika komunikasi Islam, yakni (1) Qaulan Sadida, (2) Qaulan Baligha, (3) Qulan Ma’rufa, (4) Qaulan Karima, (5) Qaulan Layinan, dan (6) Qaulan Maysura.
1. QAULAN SADIDA
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Qaulan Sadida –perkataan yang benar” (QS. 4:9)
Qaulan Sadidan berarti pembicaran, ucapan, atau perkataan yang benar, baik dari segi substansi (materi, isi, pesan) maupun redaksi (tata bahasa).
Dari segi substansi, komunikasi Islam harus menginformasikan atau menyampaikan kebenaran, faktual, hal yang benar saja, jujur, tidak berbohong, juga tidak merekayasa atau memanipulasi fakta.
“Dan jauhilah perkataan-perkataan dusta” (QS. Al-Hajj:30).
“Hendaklah kamu berpegang pada kebenaran (shidqi) karena sesungguhnya kebenaran itu memimpin kepada kebaikan dan kebaikan itu membawa ke surga” (HR. Muttafaq ‘Alaih).
“Katakanlah kebenaran walaupun pahit rasanya” (HR Ibnu Hibban).
Dari segi redaksi, komunikasi Islam harus menggunakan kata-kata yang baik dan benar, baku, sesuai kadiah bahasa yang berlaku.
“Dan berkatalah kamu kepada semua manusia dengan cara yang baik” (QS. Al-Baqarah:83).
“Sesungguhnya segala persoalan itu berjalan menurut ketentuan” (H.R. Ibnu Asakir dari Abdullah bin Basri).
Dalam bahasa Indonesia, maka komunikasi hendaknya menaati kaidah tata bahasa dan mengguakan kata-kata baku yang sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).
2. QAULAN BALIGHA
“Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka Qaulan Baligha –perkataan yang berbekas pada jiwa mereka.“ (QS An-Nissa :63).
Kata baligh berarti tepat, lugas, fasih, dan jelas maknanya. Qaulan Baligha artinya menggunakan kata-kata yang efektif, tepat sasaran, komunikatif, mudah dimengerti, langsung ke pokok masalah (straight to the point), dan tidak berbelit-belit atau bertele-tele.
Agar komunikasi tepat sasaran, gaya bicara dan pesan yang disampaikan hendaklah disesuaikan dengan kadar intelektualitas komunikan dan menggunakan bahasa yang dimengerti oleh mereka.
“Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan kadar akal (intelektualitas) mereka” (H.R. Muslim).
”Tidak kami utus seorang rasul kecuali ia harus menjelaskan dengann bahasa kaumnya”(QS.Ibrahim:4)
Gaya bicara dan pilihan kata dalam berkomunikasi dengan orang awam tentu harus dibedakan dengan saat berkomunikasi dengan kalangan cendekiawan. Berbicara di depan anak TK tentu harus tidak sama dengan saat berbicara di depan mahasiswa. Dalam konteks akademis, kita dituntut menggunakan bahasa akademis. Saat berkomunikasi di media massa, gunakanlah bahasa jurnalistik sebagai bahasa komunikasi massa (language of mass communication).
Pesan-pesan keislaman yang disampaikan dalam komunikasi Islam meliputi seluruh ajaran Islam, meliputi akidah (iman), syariah (Islam), dan akhlak (ihsan).
Soal cara (kaifiyah), dalam Al-Quran dan Al-Hadits ditemukan berbagai panduan agar komunikasi berjalan dengan baik dan efektif. Kita dapat mengistilahkannya sebagai kaidah, prinsip, atau etika berkomunikasi dalam perspektif Islam.
Kaidah, prinsip, atau etika komunikasi Islam ini merupakan panduan bagi kaum Muslim dalam melakukan komunikasi, baik dalam komunikasi intrapersonal, interpersonal dalam pergaulan sehari hari, berdakwah secara lisan dan tulisan, maupun dalam aktivitas lain.
Dalam berbagai literatur tentang komunikasi Islam kita dapat menemukan setidaknya enam jenis gaya bicara atau pembicaraan (qaulan) yang dikategorikan sebagai kaidah, prinsip, atau etika komunikasi Islam, yakni (1) Qaulan Sadida, (2) Qaulan Baligha, (3) Qulan Ma’rufa, (4) Qaulan Karima, (5) Qaulan Layinan, dan (6) Qaulan Maysura.
1. QAULAN SADIDA
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Qaulan Sadida –perkataan yang benar” (QS. 4:9)
Qaulan Sadidan berarti pembicaran, ucapan, atau perkataan yang benar, baik dari segi substansi (materi, isi, pesan) maupun redaksi (tata bahasa).
Dari segi substansi, komunikasi Islam harus menginformasikan atau menyampaikan kebenaran, faktual, hal yang benar saja, jujur, tidak berbohong, juga tidak merekayasa atau memanipulasi fakta.
“Dan jauhilah perkataan-perkataan dusta” (QS. Al-Hajj:30).
“Hendaklah kamu berpegang pada kebenaran (shidqi) karena sesungguhnya kebenaran itu memimpin kepada kebaikan dan kebaikan itu membawa ke surga” (HR. Muttafaq ‘Alaih).
“Katakanlah kebenaran walaupun pahit rasanya” (HR Ibnu Hibban).
Dari segi redaksi, komunikasi Islam harus menggunakan kata-kata yang baik dan benar, baku, sesuai kadiah bahasa yang berlaku.
“Dan berkatalah kamu kepada semua manusia dengan cara yang baik” (QS. Al-Baqarah:83).
“Sesungguhnya segala persoalan itu berjalan menurut ketentuan” (H.R. Ibnu Asakir dari Abdullah bin Basri).
Dalam bahasa Indonesia, maka komunikasi hendaknya menaati kaidah tata bahasa dan mengguakan kata-kata baku yang sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).
2. QAULAN BALIGHA
“Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka Qaulan Baligha –perkataan yang berbekas pada jiwa mereka.“ (QS An-Nissa :63).
Kata baligh berarti tepat, lugas, fasih, dan jelas maknanya. Qaulan Baligha artinya menggunakan kata-kata yang efektif, tepat sasaran, komunikatif, mudah dimengerti, langsung ke pokok masalah (straight to the point), dan tidak berbelit-belit atau bertele-tele.
Agar komunikasi tepat sasaran, gaya bicara dan pesan yang disampaikan hendaklah disesuaikan dengan kadar intelektualitas komunikan dan menggunakan bahasa yang dimengerti oleh mereka.
“Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan kadar akal (intelektualitas) mereka” (H.R. Muslim).
”Tidak kami utus seorang rasul kecuali ia harus menjelaskan dengann bahasa kaumnya”(QS.Ibrahim:4)
Gaya bicara dan pilihan kata dalam berkomunikasi dengan orang awam tentu harus dibedakan dengan saat berkomunikasi dengan kalangan cendekiawan. Berbicara di depan anak TK tentu harus tidak sama dengan saat berbicara di depan mahasiswa. Dalam konteks akademis, kita dituntut menggunakan bahasa akademis. Saat berkomunikasi di media massa, gunakanlah bahasa jurnalistik sebagai bahasa komunikasi massa (language of mass communication).
Selasa, 25 Januari 2011
opini publik
OPINI PUBLIK
Pengertian Publik
Pengertian publik secara umum adalah sekelompok individu dalam jumlah besar. Sedangkan Emery Borgadus menyebutnya : “Sejumlah orang yang bersat dalam satu ikatan dan memiliki pendirian yang sama terhadap suatu masalah sosial”
Pengertian Opini Publik
Pengertian Opini publik dari Prof. W. Doop : “Pendapat umum yang menunjukan sikap kelompok orang terhadap suatu permasalahan”
Sedangkan Willian Albig : “Opini publik adalah ekspresi segenap anggota suatu kelompok yang berkepentingan terhadap sesuatui masalah”.
Jika diartikan secara harfiah dalam bahasa Indonesia Opini Publik bisa berarti pendapat umum masyarakat.Sedangkan dalam Wikipedia penjelasan Opini publik adalah pendapat kelompok masyarakat atau sintesa dari pendapat dan diperoleh dari suatu diskusi sosial dari pihak-pihak yang memiliki kaitan kepentingan.
Agregat dari sikap dan kepercayaan ini biasanya dianut oleh populasi orang dewasa.[rujukan?]. Dalam menentukan opini publik, yang dihitung bukanlah jumlah mayoritasnya (numerical majority) namun mayoritas yang efektif (effective majority).[rujukan?] Subyek opini publik adalah masalah baru yang kontroversial dimana unsur-unsur opini publik adalah: pernyataan yang kontroversial, mengenai suatu hal yang bertentangan, dan reaksi pertama/gagasan baru.[rujukan?]
Pendekatan prinsip terhadap kajian opini publik dapat dibagi menjadi 4 kategori:
1. pengukuran kuantitatif terhadap distribusi opini[rujukan?]
2. penelitian terhadap hubungan internal antara opini individu yang membentuk opini publik pada suatu permasalahan[rujukan?]
3. deskripsi tentang atau analisis terhadap peran publik dari opini publik[rujukan?]
4. kajian baik terhadap media komunikasi yang memunculkan gagasan yang menjadi dasar opini maupun terhadap penggunaan media oleh pelaku propaganda dan manipulasi.[rujukan?]
Bicara Opini Publik maka kita bisa melihat realitas sekarang ini di Indonesia. Dimana media setiap saat berupaya menggiring pendengar, pembaca dan pemirsanya untuk membentuk opini. Produk jurnalistik seperti berita, komentar, ulasan, dan lainnya banyak diarahkan untuk pembentukan opini.
Tidak heran kemudian jika mulai Presiden hingga Bupati walikota, saat ini peka terhadap media massa. Khususnya dalam hal pencitraan pemerintah. Bukan karena mereka responsive terhadap tuntutan masyarakat, tapi lebih pada ketakutan hilangnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah akibat terbentuknya opini publik yang negative terhadap mereka.
PERAN MEDIA DALAM PEMBENTUKAN OPINI PUBLIK
(Nurul Fikri PPSDM)
Peran media dalam pembentukan opini semakin masif dalam beberapa dekade terakhir. Semakin pentingnya peran media dalam pembentukan opini publik tidak terlepas dari pesatnya peningkatan teknologi informasi dan komunikasi. Jika pada 10 tahun sebelumnya seseorang masih sulit untuk dapat mengakses internet, namun hari ini setiap orang dapat mengakses internet secara mobile. Jika 10 tahun sebelumnya jumlah stasiun televisi sangat terbatas, namun hari ini jumlah stasiun televisi semakin banyak dan dengan tingkat coverage yang lebih luas. Bahkan, hari ini kita dapat mengakses jaringan internasional, sesuatu yang mustahil dilakukan pada beberapa tahun yang lalu.
Walaupun tidak semasif beberapa tahun terakhir, media di masa lalu juga memiliki peran yang besar dalam membentuk opini publik. Contohnya adalah bagaimana publik melihat Sukarno sebagai seorang pemimpin besar Indonesia. Lewat radio pada saat itu, Sukarno berhasil membangun citra pemimpin kharismatik di masyarakat Indonesia, walaupun sebagian masyarakat mengetahui bahwa dalam praktek Sukarno adalah pemimpin yang otoriter. Namun sekali lagi, peran media telah menggeser opini publik terhadap citra Sukarno dari seorang pemimpin diktator menjadi pemimpin yang kharismatik dan dibanggakan oleh masyarakat Indonesia.
Peranan media masa tersebut tentunya tidak dapat dilepaskan dari arti keberadaan media itu sendiri. Marshall McLuhan, seorang sosiolog Kanada mengatakan bahwa ”media is the extension of men”. Pada awalnya, ketika teknologi masih terbatas maka seseorang harus melakukan komunikasi secara langsung. Tetapi, seiring dengan peningkatan teknologi, maka media massa menjadi sarana dalam memberikan informasi, serta melaksanakan komunikasi dan dialog. Secara tidak langsung, dengan makna keberadaan media itu sendiri, maka media menjadi sarana dalam upaya perluasan ide-ide, gagasan-gagasan dan pemikiran terhadap kenyataan sosial (Dedy Jamaludi Malik, 2001: 23)
Dengan peran tersebut, media massa menjadi sebuah agen dalam membentuk citra di masyarakat. Pemberitaan di media massa sangat terkait dengan pembentukan citra, karena pada dasarnya komunikasi itu proses interaksi sosial, yang digunakan untuk menyusun makna yang membentuk citra tersendiri mengenai dunia dan bertukar citra melalui simbol-simbol (Nimmo, 1999). Dalam konteks tersebut, media memainkan peranan penting untuk konstruksi realitas sosial.
Sebagai seorang praktisi media massa, Direktur Pemberitaan TV One, Karni Ilyas atau biasa disebut ”Bang One”, telah menunjukan betapa strategisnya peran media dalam pembentukan realitas sosial. Berbagai contoh seperti pencitraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2004, kasus Manohara yang mengkonstruksi opini masyarakat bahwa dia sebagai orang yang perlu dilindungi, dan terakhir adalah citra terhadap KPK sebagai institusi pemberantasan korupsi; tidak dapat dilepaskan dari peran media dalam membentuk opini publik.
Namun, Karni Ilyas menyatakan bahwa pembentukan opini publik tidak sepenuhnya menjadi monopoli media massa. Masyarakat juga memiliki peran dalam mencerna informasi yang didapat dari media. Dalam hal itu, maka faktor relativisme budaya masyarakat menjadi hal yang penting dalam proses keberterimaan sebuah opini publik.
Dengan perannya yang sangat besar dalam pembentukan opini publik, maka sudah sejatinya gerakan mahasiswa dapat memanfaatkan keran-keran media massa dalam melakukan adovokasi kebijakan publik. Penyebaran diskursus-diskursus dalam public sphare inilah yang seharusnya lebih dimaksimalkan oleh gerakan mahasiswa agar gerakan mahasiswa lebih efektif dalam mencapai tujuan-tujuan gerakannya.
*) Peserta PPSDMS Regional 1 Jakarta, mahasiswa program studi Ilmu Hubungan Internasional di Universitas Indonesia.
Contoh masalah adalah pada awal bulan September 2010 malam, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyampaikan pidato mengenai hubungan Indonesia dan Malaysia. Terkait insiden penangkapan aparat kelautan RI oleh TM Malaysia.
Menyimak pemberitaan media beberapa hari terakhir, amat sulit menghindari kesan bahwa di antara sebagian masyarakat ada juga war monger dengan slogan-slogan jingoism kosong semacam “Ganyang Malaysia.” Seolah-olah, urusan perang antarnegara semudah urusan perang antarkampung, atau tawuran antarsekolah, atau semudah menyerang kelompok-kelompok yang tidak sehaluan dengan kelompoknya, yang beritanya sering menghiasi media massa kita itu. Banalitas kekerasan domestik negeri kita sepertinya menemukan outlet baru, sekarang berkembang dalam bahasa-bahasa kekerasan untuk negara tetangga.
Ada beberapa hal penting yang bisa dipelajari dari mengerasnya opini publik belakangan ini terhadap isu hubungan Indonesia dan Malaysia ini.
Pelajaran pertama, diplomasi dan politik luar negeri kita pada akhirnya juga tidak bisa menghindar dari arus demokratisasi. Sebelumnya, isu diplomasi dan politik luar negeri seringkali dianggap domain milik negara, yang jarang tersentuh warga negara. Warga negara seolah memberi blanko kosong kepada negara untuk menjalankan hubungan luar negeri. Sepanjang masa otoritarian Orde Baru, diplomasi dan politik luar negeri tidak sensitif terhadap opini publik. Suara-suara keras yang menuntut pemerintah bertindak “tegas” terhadap Malaysia, sejatinya adalah hal lumrah dalam sebuah negeri yang demokratis.
Menariknya, pemberitaan pers di Malaysia tidak seriuh rendah media di Indonesia. Sangat boleh jadi, sepinya media di Malaysia dan riuh rendahnya media di Indonesia menunjukan semakin demokratisnya Indonesia dan masih tertutupnya sistem politik di Malaysia.
Perlakuan sewenang-eenang pemerintah Malaysia terhadap warga Indonesia, semisal para TKI, dengan cepat tersiar kabarnya melalui media di Indonesia dan seketika membakar rasa patriotisme banyak orang. Di lain pihak, media di Malaysia biasanya adem ayem.
Analogi yang sedikit mirip dengan situasi itu adalah ini: lima wartawan Australia terbunuh di Timor Timur tahun 1975. Ketika itu, media dan masyarakat Australia meradang, tapi media dan masyarakat Indonesia adem ayem, seolah tidak terjadi apa-apa. Pemerintah Australia saat itu kewalahan meredam kerasnya opini publik dalam negeri, sementara pada saat bersamaaan berusaha keras menjaga hubungan baik dengan pemerintah Indonesia. Persamaannya dengan situasi kita sekarang dalam persoalan dengan Malaysia adalah bahwa media dan opini publik dalam alam demokrasi memang gaduh. Tetapi di situlah deliberasi beragam opini terjadi, demi membentuk publik yang (semestinya) lebih rasional.
Pelajaran kedua, pidato SBY itu menunjukkan proses berpolitik (luar negeri) yang rasional. Hans Morgenthau dalam risalah klasiknya, Politics among Nations, menuliskan bahwa praktik diplomasi dan politik luar negeri seringkali bertentangan dengan opini publik.
Berkenaan dengan itu, seperti diproposisikan Morgenthau, ada tiga hal yang selalu melatarbelakangi diplomasi dan politik luar negeri. Hal pertama adalah pertentangan antara opsi-opsi bagi diplomasi dan politik luar negeri yang baik bisa jadi bertentangan dengan opini publik. Toh, pemerintah bisa memberi “konsesi” untuk mengurangi oposisi terhadap kebijakan luar negeri. Pidato SBY yang menjabarkan langkah-langkah yang telah diambil untuk menyelesaikan insiden di seputar perairan Bintan pada 13 Agustus 2010 lalu, menurut penulis, adalah bentuk “konsesi” yang dimaksud.
Hal kedua, pemerintah sebagai pelaksana hubungan luar negeri harus menyadari bahwa ia adalah “leader”, bukan “slave” dari opini publik. Opini publik tidak membentuk kebijakan. Sebaliknya, menurut Morgenthau, opini publik akan dibentuk oleh kepemimpinan yang baik dan bertanggung jawab.
Hal ketiga, pemerintah selaku pelaksana diplomasi dan politik luar negeri harus mampu membedakan hal yang desirable dalam politik luar negeri dengan hal yang esensial. Tentu yang harus didahulukan adalah hal yang esensial. Politics Among Nations mengingatkan, pemerintah pelaksana diplomasi dan politik luar negeri bisa saja mengikuti opini publik untuk hal yang non-esensial. Namun ia harus berani beradu argumentasi dengan publik untuk hal yang esensial. Pidato SBY telah melakukan itu dengan menjabarkan elemen esensial dalam hubungan Indonesia dan Malaysia yang harus terus dijaga demi kemaslahatan negeri kita sendiri.
(Penulis adalah peneliti CSIS dan kandidat doktor ilmu politik di Northern Illinois University Amerika Serikat) Philip Vermonte
Kepentingan Masyarakat ---- Terwakili dalam Opini Publik
Eep : Mewakili masyarakat, Partai , Media massa (radio, televise, sk, majalah)
Mewakili masyarakat seperti apa ?
Klaim mewakili masyarakat dasarnya abstrack !
Belum cukup bisa dipertanggungjawabkan.
Klaim, Legalisasi, dasar yang abash untuk menuntut/ menunjukan suatu sikap (politik biasanya)
Bagaimana mengetahui Opini Publik
Untuk Apa membicarakan Opini Publik.
Apa pentingnya membahas Opini publik (negara harus memperhatikan opini publik ?)
DEMOKRASI DAN OPINI PUBLIK
Dalam negara yang menganut Demokrasi, Opini Publik mendapat tempat terbuka. Masyarakat dapat menyampaikan pendapatnya mengenai kebijakan pemerintah secara bebas. Baik melalui media massa, tulisan maupun penelitian ilmiah yang menegaskan sikap pandangan sebagian masyarakat. Keterbukaan seperti ini sulit ditemui di negara dengan sistem totaliter, monarki, maupun sosialis.
Opini publik yang berkembang di negara dengan sistem demokrasi seperti Indonesia. Mendapat tempat dan tumbuh subur karena sebelumnya Indonesia menganut demokrasi terpimpin dan demokrasi pancasila yang sesungguhnya dikendalikan penguasa. Dengan demokrasi yang cenderung liberal sekarang, bahkan banyak lembaga kemasyarakatan membangun kepentingannya untuk menciptakan opini publik sepihak. Namun demikian dengan banyaknya lembaga tersebut maka banyak opini publik berkembang sesuai standar masing-masing.
Media massa membangun opini publik untuk kepentingan pembaca dan masyarakat lainnya, agar citra lembaga penerbitan mereka lebih dipercaya atau menjadi barometer media lainnya. Sedangkan lembaga lembaga survey dan kelompok masyarakat teroganisir, membangun opini untuk kepentingannya dan membangun keseimbangan dengan pemerintah.
PUBLIK OPINION IN DEMOKRATIC SOCIETY
Masyarakat demokrasi cenderung menyampaikan pendapatnya melalui saluran yang mereka yakini mampu mewakili suara mereka. Seperti menyuarakan pendapatnya pada media massa, baik langsung maupun tidaklangsung. Suara mereka diserap media massa sebagai bahan untukmelakukan survey yang lebih luas tentang sikap masyarakat/ warga terhadap sesuatu masalah yang sedang menjadi perhatian. Baik Ekonomi, sosial, politik, keamanan dan budaya.
Sejarah ?
Perkembangan ?
Kegunaan ?
SEBERAPA BESAR KITA HARUS PERCAYA PADA OPINI PUBLIK
Hampir tiap hari kita membaca dan mendengar berita di Radio dan TV maupun artikel, di media cetak, pemberitaan di media massa sarat isu tentang kekalahan kita disemua lini, secara khusus yang saya maksudkan disini adalah bidang teknologi. Seolah setelah beberapa dekade hidup dalam optimisme semu yang dibentuk dimasa Orde Baru, tabu rasanya untuk mengemukakan hal yang berbau keberhasilan. Selain barangkali memang begitu adanya, tetapi boleh jadi juga karena menyatakan keberhasilan kepada publik di masa ini terasa sebagai suatu bentuk manipulasi, terasa sebagai pesan titipan pemerintah, yang dimasa swasta ini citranya selalu dipandang dengan dahi mengerenyit.
Publik cenderung memiliki attention-span yang sangat terbatas dalam mempersepsikan sesuatu. Penilaian obyektif kita terhadap suatu masalah, dalam banyak hal sering kali tidak perlu memilik korelasi positif dengan apa yang dipercaya oleh suatu komunitas yang kita berada didalamnya.
Publik hanya mampu faham bahasa ekstrem, berhasil atau tidak, setuju atau tidak, dan media sebenarnya lebih berperan menyimpulkan apa yang disukai oleh publik, sesuatu yang dibawah sadar ingin didengar oleh publik dibandingkan dengan realitas.
Analogi
Saya ingin menganalogikan pandangan terhadap pembentukan opini publik dengan pandangan terhadap para marketers menurut Seth Godin dalam bukunya ’All marketers are liars’, yang mengatakan bahwa fungsi marketers adalah menceritakan apa yang sebenarnya ingin didengar oleh konsumen, dan bukan sebaliknya, yaitu mempersuasi konsumennya seperti yang selama ini dibayangkan. Saya melihat bahwa pembentukan opini publik melalui media didalam banyak hal juga tidak jauh berbeda. Media memang mengedukasi masyarakat, tetapi lebih banyak disetir kearah yang masyarakat kehendaki sendiri.
Jadi saya tidak terlalu kuatir dengan berbagai opini maupun editorial maupun segala macam rating tentang posisi kita yang terpuruk di bidang teknologi. Kita bukan tepuruk, tetapi kita majunya tidak secepat negara industri. Bedanya, dahulu media dikendalikan oleh elite yang berkepentingan untuk terlihat berhasil memajukan teknologi, sementara sekarang, media adalah milik publik yang memang dipenuhi segala macam masalah.
Media sekarang memiliki cakupan global, dan hanya sesuatu yang luar biasa secara global saja yang akan terlihat sebagai achievement, diluar itu, semua hanya kelihatan biasa-biasa saja. Orang terlalu cepat lupa,tentang pencapaian hal-hal yang luar biasa atau bahkan ajaib dari sisi logika seperti teknologi seluler, mikroelektronika, komputer dan teknologi informasi. Orang melihat video-conference yang ditawarkan para operator seluler sekarang, seperti yang digambarkan di komik Flash Gordon jaman dahulu, hanya terheran-heran untuk beberapa hari saja, sesudah itu semua berjalan seperti biasa seolah-olah memang sudah seharusnya begitu.
Apabila dahulu kita bingung membayangkan bagaimana nasib kita dimasa depan apabila kita dibanjiri dengan informasi global, tidak perlu heran bahwa saat itu cepat atau lambat akan terjadi, dan saat itu ternyata adalah sekarang, dan krisis percaya diri tadi adalah hanya salah satu dampaknya.
Maka dari itu, bisa jadi penguasaan teknologi kita sebenarnya maju, tetapi tidak dengan skenario yang dibayangkan oleh publik kita. Orang masih berpikir dengan pola teknologi yang dikembangkan dan dikuasai dulu oleh negara maupun elite kemudian di spin-off ke masyarakat swasta. Di era banjir informasi apakah hal seperti itu masih jadi mode?
Di samping itu, mengapa mesti terkotak-kotak dengan istilah bangsa ini terpuruk atau tidak? Bahwa ada anggota masyarakat kita yang gagap teknologi tidak menjadikan kita bangsa gaptek. Energi kreatif kita bisa habis menguap hanya karena sibuk memikirkan apakah kita memang begitu.
MENGARAHKAN OPINI PUBLIK
Oleh: Haryatmoko
Akhir-akhir ini, berbagai hasil jajak pendapat ikut memanaskan atmosfer politik Indonesia. Dengan mengklaim diri sebagai penelitian ilmiah, jajak pendapat ingin mencapai status obyektif atau bebas nilai, padahal ia merupakan bagian dari strategi kekuasaan.
M Foucault dengan jeli menyingkap, status ilmiah merupakan cara kekuasaan memaksakan pandangannya kepada publik tanpa memberi kesan berasal dari pihak tertentu (1980). Kriteria ilmiah seakan mandiri terpisah dari kepentingan subyek.
Opini publik perlu dimengerti dalam konteks di mana publik terbentuk karena ada orang atau kelompok yang memiliki kepedulian terhadap suatu masalah (termasuk responden dan peneliti jajak pendapat). Mereka mencoba menemukan sebabnya atau menelisik penanggung jawab yang mengakibatkan masalah itu.
Kerancuan deskripsi Publik bukan sekadar sekumpulan orang yang didorong sikap atau kepentingan. Mereka tercipta berkat wacana yang menyatukan dengan menyesuaikan opininya. Lalu terbentuk publik yang mengenali diri sebagai anggota kelompok yang lebih kurang sama. Maka, opini pertama-tama bukan sikap, tetapi proyeksi atau prakiraan.
Publik dimengerti sebagai bentuk koordinasi kolektif yang memiliki tiga hal. Pertama, identitas lebih kurang sama; kedua, setuju atas diagnostik masalah (sebab, tanggung jawab, dan pemecahan); ketiga, ikut terlibat untuk suatu upaya kolektif.
Jadi, opini selalu kontekstual terkait dengan budaya dan dinamika perdebatan. Jajak pendapat tidak lain kecuali sarana penyesuaian opini kolektif tidak berbeda dari fungsi media massa. Jajak pendapat tidak hanya cermin opini bersama, tetapi juga merupakan panggung debat publik.
Menjawab jajak pendapat berarti mengungkap pandangan di ruang publik. Ada tiga alasan yang mendasari (M Brougidou, 2008:14). Pertama, responden sadar tidak sendiri ambil bagian dalam jajak pendapat; kedua, responden tahu biasanya hasil dipublikasikan dan menjadi bahan komentar publik; ketiga, cakrawala yang didefinisikan oleh publikasi opini memberi bentuk terhadap posisi sikapnya. Pandangan pribadi biasanya berakar pada nilai komunitas politiknya.
Prapemahaman pada diri peneliti, metode yang dipakai, dan konteksnya membuat jajak pendapat mudah terjebak dalam kerancuan antara deskripsi netral atau mengungkap situasi mental (sikap), atau dilibatkan dalam memproduksi rumusan bahasa yang sudah dirancang atau disesuaikan dengan konteks tertentu. Responden bisa tidak lagi memberi deskripsi obyek, tetapi apa yang dirasakan atau membangun suatu versi tentang obyek. Jadi, tidak jarang hasil jajak pendapat akan mencampuradukkan antara deskripsi, evaluasi, dan penjelasan.
Apakah validitas jajak pendapat hanya diukur dari sikap yang diambil dari sampel yang dianggap representatif? Sebetulnya dalam jajak pendapat yang utama adalah mengambil wacana para pelaku, citra, kisah, dan argumen mereka yang membentuk ruang bersama terkait dengan suatu masalah dan dengan demikian bisa mengidentifikasi publik.
Namun, dalam kenyataan, jajak pendapat sering dikaitkan dengan upaya elite untuk mengontrol dan mengawasi opini publik. Boleh jadi upaya untuk mengukur dan mengetahui opini publik tidak lain kecuali upaya untuk menjinakkannya. Jajak pendapat biasanya mendasarkan legitimasinya pada dua bentuk representativitas: representativitas statistik yang mendeskripsikan penjumlahan opini-opini dan representativitas politik yang mendasarkan pada prinsip satu orang satu suara.
Ketidakseimbangan Politisi sering menggunakan hasil jajak pendapat dan menggunakannya untuk komunikasi politik di media sehingga memberi bentuk realitas pada opini publik. Artinya, hasil jajak pendapat digunakan untuk mengarahkan opini publik. Dari sudut demokrasi deliberatif, opini yang dikumpulkan dalam jajak pendapat bisa dipertanyakan ciri ”publik”-nya karena bukan buah pertimbangan dan diskusi publik. Ada bias karena dampak penetapan masalah oleh peneliti menyebabkan ketidakseimbangan informasi di antara responden. Lalu aneka pertanyaan peneliti cenderung sudah mengarahkan ke opini tertentu. Tentu saja metode yang digunakan (pertanyaan terbuka-tertutup) akan menentukan hasilnya. Kendati demikian, tetap saja konstruksi nilai sudah terjadi.
Sikap memang dihasilkan oleh lingkungan psikologis dan sosial, tetapi berfungsi dengan penuh selubung tidak sesadar seperti peneliti/penganalisis. Padahal, peneliti sering sudah puas bila bisa menunjukkan hubungan statistik tanpa dapat menjelaskan melalui teori sosial.
Jika demikian, opini publik seolah seperti entitas kolektif, hasil struktur sosial yang dianggap sebagai hasil yang stabil dari proses interaksi komunikasi politik. Padahal, opini publik tidak stabil dan warga negara tidak selalu memiliki sikap berhadapan dengan masalah-masalah yang dibicarakan dalam diskusi publik (JR Ziller, 1992). Maka, perlukah menyusun kode etik atau mengatur instansi-instansi yang melakukan jajak pendapat bila upaya itu tidak lebih dari opini juga? Upaya yang perlu, pertama, adalah menyingkap, jajak pendapat tidak lain kecuali opini; kedua, jika mau membantah hasilnya, perlu dibuat penelitian tandingan.
Jajak pendapat seharusnya diarahkan untuk menemukan kembali dinamika perdebatan publik melalui interaksi antara pertanyaan tertutup dan terbuka. Jawaban-jawaban mereka (posisi dan dasar pembenaran) mencerminkan dinamika perdebatan publik. Maka, statistik bukan untuk menggambarkan representasi politik (satu orang satu suara), tetapi harus dilihat dalam kerangka demokrasi deliberatif, yaitu memberi kesempatan kepada suatu suara mengungkap alasan-alasannya.
Memang, dalam ilmu-ilmu sosial, konteks determinasi penelitian pragmatis biasanya tidak lepas dari soal politik yang kental dengan aspek retorika dan tujuan penelitian (JM Berthelot, 2001:206). Tujuannya, menekankan kegunaan atau kemampuan menjawab kebutuhan, maka pesan sponsor amat memengaruhi hasil. Penelitian tidak lepas dari pengaruh kepentingan dan nilai-nilai tertentu.
Penulis: Dosen Pascasarjana FIB UI dan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Pengertian Publik
Pengertian publik secara umum adalah sekelompok individu dalam jumlah besar. Sedangkan Emery Borgadus menyebutnya : “Sejumlah orang yang bersat dalam satu ikatan dan memiliki pendirian yang sama terhadap suatu masalah sosial”
Pengertian Opini Publik
Pengertian Opini publik dari Prof. W. Doop : “Pendapat umum yang menunjukan sikap kelompok orang terhadap suatu permasalahan”
Sedangkan Willian Albig : “Opini publik adalah ekspresi segenap anggota suatu kelompok yang berkepentingan terhadap sesuatui masalah”.
Jika diartikan secara harfiah dalam bahasa Indonesia Opini Publik bisa berarti pendapat umum masyarakat.Sedangkan dalam Wikipedia penjelasan Opini publik adalah pendapat kelompok masyarakat atau sintesa dari pendapat dan diperoleh dari suatu diskusi sosial dari pihak-pihak yang memiliki kaitan kepentingan.
Agregat dari sikap dan kepercayaan ini biasanya dianut oleh populasi orang dewasa.[rujukan?]. Dalam menentukan opini publik, yang dihitung bukanlah jumlah mayoritasnya (numerical majority) namun mayoritas yang efektif (effective majority).[rujukan?] Subyek opini publik adalah masalah baru yang kontroversial dimana unsur-unsur opini publik adalah: pernyataan yang kontroversial, mengenai suatu hal yang bertentangan, dan reaksi pertama/gagasan baru.[rujukan?]
Pendekatan prinsip terhadap kajian opini publik dapat dibagi menjadi 4 kategori:
1. pengukuran kuantitatif terhadap distribusi opini[rujukan?]
2. penelitian terhadap hubungan internal antara opini individu yang membentuk opini publik pada suatu permasalahan[rujukan?]
3. deskripsi tentang atau analisis terhadap peran publik dari opini publik[rujukan?]
4. kajian baik terhadap media komunikasi yang memunculkan gagasan yang menjadi dasar opini maupun terhadap penggunaan media oleh pelaku propaganda dan manipulasi.[rujukan?]
Bicara Opini Publik maka kita bisa melihat realitas sekarang ini di Indonesia. Dimana media setiap saat berupaya menggiring pendengar, pembaca dan pemirsanya untuk membentuk opini. Produk jurnalistik seperti berita, komentar, ulasan, dan lainnya banyak diarahkan untuk pembentukan opini.
Tidak heran kemudian jika mulai Presiden hingga Bupati walikota, saat ini peka terhadap media massa. Khususnya dalam hal pencitraan pemerintah. Bukan karena mereka responsive terhadap tuntutan masyarakat, tapi lebih pada ketakutan hilangnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah akibat terbentuknya opini publik yang negative terhadap mereka.
PERAN MEDIA DALAM PEMBENTUKAN OPINI PUBLIK
(Nurul Fikri PPSDM)
Peran media dalam pembentukan opini semakin masif dalam beberapa dekade terakhir. Semakin pentingnya peran media dalam pembentukan opini publik tidak terlepas dari pesatnya peningkatan teknologi informasi dan komunikasi. Jika pada 10 tahun sebelumnya seseorang masih sulit untuk dapat mengakses internet, namun hari ini setiap orang dapat mengakses internet secara mobile. Jika 10 tahun sebelumnya jumlah stasiun televisi sangat terbatas, namun hari ini jumlah stasiun televisi semakin banyak dan dengan tingkat coverage yang lebih luas. Bahkan, hari ini kita dapat mengakses jaringan internasional, sesuatu yang mustahil dilakukan pada beberapa tahun yang lalu.
Walaupun tidak semasif beberapa tahun terakhir, media di masa lalu juga memiliki peran yang besar dalam membentuk opini publik. Contohnya adalah bagaimana publik melihat Sukarno sebagai seorang pemimpin besar Indonesia. Lewat radio pada saat itu, Sukarno berhasil membangun citra pemimpin kharismatik di masyarakat Indonesia, walaupun sebagian masyarakat mengetahui bahwa dalam praktek Sukarno adalah pemimpin yang otoriter. Namun sekali lagi, peran media telah menggeser opini publik terhadap citra Sukarno dari seorang pemimpin diktator menjadi pemimpin yang kharismatik dan dibanggakan oleh masyarakat Indonesia.
Peranan media masa tersebut tentunya tidak dapat dilepaskan dari arti keberadaan media itu sendiri. Marshall McLuhan, seorang sosiolog Kanada mengatakan bahwa ”media is the extension of men”. Pada awalnya, ketika teknologi masih terbatas maka seseorang harus melakukan komunikasi secara langsung. Tetapi, seiring dengan peningkatan teknologi, maka media massa menjadi sarana dalam memberikan informasi, serta melaksanakan komunikasi dan dialog. Secara tidak langsung, dengan makna keberadaan media itu sendiri, maka media menjadi sarana dalam upaya perluasan ide-ide, gagasan-gagasan dan pemikiran terhadap kenyataan sosial (Dedy Jamaludi Malik, 2001: 23)
Dengan peran tersebut, media massa menjadi sebuah agen dalam membentuk citra di masyarakat. Pemberitaan di media massa sangat terkait dengan pembentukan citra, karena pada dasarnya komunikasi itu proses interaksi sosial, yang digunakan untuk menyusun makna yang membentuk citra tersendiri mengenai dunia dan bertukar citra melalui simbol-simbol (Nimmo, 1999). Dalam konteks tersebut, media memainkan peranan penting untuk konstruksi realitas sosial.
Sebagai seorang praktisi media massa, Direktur Pemberitaan TV One, Karni Ilyas atau biasa disebut ”Bang One”, telah menunjukan betapa strategisnya peran media dalam pembentukan realitas sosial. Berbagai contoh seperti pencitraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2004, kasus Manohara yang mengkonstruksi opini masyarakat bahwa dia sebagai orang yang perlu dilindungi, dan terakhir adalah citra terhadap KPK sebagai institusi pemberantasan korupsi; tidak dapat dilepaskan dari peran media dalam membentuk opini publik.
Namun, Karni Ilyas menyatakan bahwa pembentukan opini publik tidak sepenuhnya menjadi monopoli media massa. Masyarakat juga memiliki peran dalam mencerna informasi yang didapat dari media. Dalam hal itu, maka faktor relativisme budaya masyarakat menjadi hal yang penting dalam proses keberterimaan sebuah opini publik.
Dengan perannya yang sangat besar dalam pembentukan opini publik, maka sudah sejatinya gerakan mahasiswa dapat memanfaatkan keran-keran media massa dalam melakukan adovokasi kebijakan publik. Penyebaran diskursus-diskursus dalam public sphare inilah yang seharusnya lebih dimaksimalkan oleh gerakan mahasiswa agar gerakan mahasiswa lebih efektif dalam mencapai tujuan-tujuan gerakannya.
*) Peserta PPSDMS Regional 1 Jakarta, mahasiswa program studi Ilmu Hubungan Internasional di Universitas Indonesia.
Contoh masalah adalah pada awal bulan September 2010 malam, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyampaikan pidato mengenai hubungan Indonesia dan Malaysia. Terkait insiden penangkapan aparat kelautan RI oleh TM Malaysia.
Menyimak pemberitaan media beberapa hari terakhir, amat sulit menghindari kesan bahwa di antara sebagian masyarakat ada juga war monger dengan slogan-slogan jingoism kosong semacam “Ganyang Malaysia.” Seolah-olah, urusan perang antarnegara semudah urusan perang antarkampung, atau tawuran antarsekolah, atau semudah menyerang kelompok-kelompok yang tidak sehaluan dengan kelompoknya, yang beritanya sering menghiasi media massa kita itu. Banalitas kekerasan domestik negeri kita sepertinya menemukan outlet baru, sekarang berkembang dalam bahasa-bahasa kekerasan untuk negara tetangga.
Ada beberapa hal penting yang bisa dipelajari dari mengerasnya opini publik belakangan ini terhadap isu hubungan Indonesia dan Malaysia ini.
Pelajaran pertama, diplomasi dan politik luar negeri kita pada akhirnya juga tidak bisa menghindar dari arus demokratisasi. Sebelumnya, isu diplomasi dan politik luar negeri seringkali dianggap domain milik negara, yang jarang tersentuh warga negara. Warga negara seolah memberi blanko kosong kepada negara untuk menjalankan hubungan luar negeri. Sepanjang masa otoritarian Orde Baru, diplomasi dan politik luar negeri tidak sensitif terhadap opini publik. Suara-suara keras yang menuntut pemerintah bertindak “tegas” terhadap Malaysia, sejatinya adalah hal lumrah dalam sebuah negeri yang demokratis.
Menariknya, pemberitaan pers di Malaysia tidak seriuh rendah media di Indonesia. Sangat boleh jadi, sepinya media di Malaysia dan riuh rendahnya media di Indonesia menunjukan semakin demokratisnya Indonesia dan masih tertutupnya sistem politik di Malaysia.
Perlakuan sewenang-eenang pemerintah Malaysia terhadap warga Indonesia, semisal para TKI, dengan cepat tersiar kabarnya melalui media di Indonesia dan seketika membakar rasa patriotisme banyak orang. Di lain pihak, media di Malaysia biasanya adem ayem.
Analogi yang sedikit mirip dengan situasi itu adalah ini: lima wartawan Australia terbunuh di Timor Timur tahun 1975. Ketika itu, media dan masyarakat Australia meradang, tapi media dan masyarakat Indonesia adem ayem, seolah tidak terjadi apa-apa. Pemerintah Australia saat itu kewalahan meredam kerasnya opini publik dalam negeri, sementara pada saat bersamaaan berusaha keras menjaga hubungan baik dengan pemerintah Indonesia. Persamaannya dengan situasi kita sekarang dalam persoalan dengan Malaysia adalah bahwa media dan opini publik dalam alam demokrasi memang gaduh. Tetapi di situlah deliberasi beragam opini terjadi, demi membentuk publik yang (semestinya) lebih rasional.
Pelajaran kedua, pidato SBY itu menunjukkan proses berpolitik (luar negeri) yang rasional. Hans Morgenthau dalam risalah klasiknya, Politics among Nations, menuliskan bahwa praktik diplomasi dan politik luar negeri seringkali bertentangan dengan opini publik.
Berkenaan dengan itu, seperti diproposisikan Morgenthau, ada tiga hal yang selalu melatarbelakangi diplomasi dan politik luar negeri. Hal pertama adalah pertentangan antara opsi-opsi bagi diplomasi dan politik luar negeri yang baik bisa jadi bertentangan dengan opini publik. Toh, pemerintah bisa memberi “konsesi” untuk mengurangi oposisi terhadap kebijakan luar negeri. Pidato SBY yang menjabarkan langkah-langkah yang telah diambil untuk menyelesaikan insiden di seputar perairan Bintan pada 13 Agustus 2010 lalu, menurut penulis, adalah bentuk “konsesi” yang dimaksud.
Hal kedua, pemerintah sebagai pelaksana hubungan luar negeri harus menyadari bahwa ia adalah “leader”, bukan “slave” dari opini publik. Opini publik tidak membentuk kebijakan. Sebaliknya, menurut Morgenthau, opini publik akan dibentuk oleh kepemimpinan yang baik dan bertanggung jawab.
Hal ketiga, pemerintah selaku pelaksana diplomasi dan politik luar negeri harus mampu membedakan hal yang desirable dalam politik luar negeri dengan hal yang esensial. Tentu yang harus didahulukan adalah hal yang esensial. Politics Among Nations mengingatkan, pemerintah pelaksana diplomasi dan politik luar negeri bisa saja mengikuti opini publik untuk hal yang non-esensial. Namun ia harus berani beradu argumentasi dengan publik untuk hal yang esensial. Pidato SBY telah melakukan itu dengan menjabarkan elemen esensial dalam hubungan Indonesia dan Malaysia yang harus terus dijaga demi kemaslahatan negeri kita sendiri.
(Penulis adalah peneliti CSIS dan kandidat doktor ilmu politik di Northern Illinois University Amerika Serikat) Philip Vermonte
Kepentingan Masyarakat ---- Terwakili dalam Opini Publik
Eep : Mewakili masyarakat, Partai , Media massa (radio, televise, sk, majalah)
Mewakili masyarakat seperti apa ?
Klaim mewakili masyarakat dasarnya abstrack !
Belum cukup bisa dipertanggungjawabkan.
Klaim, Legalisasi, dasar yang abash untuk menuntut/ menunjukan suatu sikap (politik biasanya)
Bagaimana mengetahui Opini Publik
Untuk Apa membicarakan Opini Publik.
Apa pentingnya membahas Opini publik (negara harus memperhatikan opini publik ?)
DEMOKRASI DAN OPINI PUBLIK
Dalam negara yang menganut Demokrasi, Opini Publik mendapat tempat terbuka. Masyarakat dapat menyampaikan pendapatnya mengenai kebijakan pemerintah secara bebas. Baik melalui media massa, tulisan maupun penelitian ilmiah yang menegaskan sikap pandangan sebagian masyarakat. Keterbukaan seperti ini sulit ditemui di negara dengan sistem totaliter, monarki, maupun sosialis.
Opini publik yang berkembang di negara dengan sistem demokrasi seperti Indonesia. Mendapat tempat dan tumbuh subur karena sebelumnya Indonesia menganut demokrasi terpimpin dan demokrasi pancasila yang sesungguhnya dikendalikan penguasa. Dengan demokrasi yang cenderung liberal sekarang, bahkan banyak lembaga kemasyarakatan membangun kepentingannya untuk menciptakan opini publik sepihak. Namun demikian dengan banyaknya lembaga tersebut maka banyak opini publik berkembang sesuai standar masing-masing.
Media massa membangun opini publik untuk kepentingan pembaca dan masyarakat lainnya, agar citra lembaga penerbitan mereka lebih dipercaya atau menjadi barometer media lainnya. Sedangkan lembaga lembaga survey dan kelompok masyarakat teroganisir, membangun opini untuk kepentingannya dan membangun keseimbangan dengan pemerintah.
PUBLIK OPINION IN DEMOKRATIC SOCIETY
Masyarakat demokrasi cenderung menyampaikan pendapatnya melalui saluran yang mereka yakini mampu mewakili suara mereka. Seperti menyuarakan pendapatnya pada media massa, baik langsung maupun tidaklangsung. Suara mereka diserap media massa sebagai bahan untukmelakukan survey yang lebih luas tentang sikap masyarakat/ warga terhadap sesuatu masalah yang sedang menjadi perhatian. Baik Ekonomi, sosial, politik, keamanan dan budaya.
Sejarah ?
Perkembangan ?
Kegunaan ?
SEBERAPA BESAR KITA HARUS PERCAYA PADA OPINI PUBLIK
Hampir tiap hari kita membaca dan mendengar berita di Radio dan TV maupun artikel, di media cetak, pemberitaan di media massa sarat isu tentang kekalahan kita disemua lini, secara khusus yang saya maksudkan disini adalah bidang teknologi. Seolah setelah beberapa dekade hidup dalam optimisme semu yang dibentuk dimasa Orde Baru, tabu rasanya untuk mengemukakan hal yang berbau keberhasilan. Selain barangkali memang begitu adanya, tetapi boleh jadi juga karena menyatakan keberhasilan kepada publik di masa ini terasa sebagai suatu bentuk manipulasi, terasa sebagai pesan titipan pemerintah, yang dimasa swasta ini citranya selalu dipandang dengan dahi mengerenyit.
Publik cenderung memiliki attention-span yang sangat terbatas dalam mempersepsikan sesuatu. Penilaian obyektif kita terhadap suatu masalah, dalam banyak hal sering kali tidak perlu memilik korelasi positif dengan apa yang dipercaya oleh suatu komunitas yang kita berada didalamnya.
Publik hanya mampu faham bahasa ekstrem, berhasil atau tidak, setuju atau tidak, dan media sebenarnya lebih berperan menyimpulkan apa yang disukai oleh publik, sesuatu yang dibawah sadar ingin didengar oleh publik dibandingkan dengan realitas.
Analogi
Saya ingin menganalogikan pandangan terhadap pembentukan opini publik dengan pandangan terhadap para marketers menurut Seth Godin dalam bukunya ’All marketers are liars’, yang mengatakan bahwa fungsi marketers adalah menceritakan apa yang sebenarnya ingin didengar oleh konsumen, dan bukan sebaliknya, yaitu mempersuasi konsumennya seperti yang selama ini dibayangkan. Saya melihat bahwa pembentukan opini publik melalui media didalam banyak hal juga tidak jauh berbeda. Media memang mengedukasi masyarakat, tetapi lebih banyak disetir kearah yang masyarakat kehendaki sendiri.
Jadi saya tidak terlalu kuatir dengan berbagai opini maupun editorial maupun segala macam rating tentang posisi kita yang terpuruk di bidang teknologi. Kita bukan tepuruk, tetapi kita majunya tidak secepat negara industri. Bedanya, dahulu media dikendalikan oleh elite yang berkepentingan untuk terlihat berhasil memajukan teknologi, sementara sekarang, media adalah milik publik yang memang dipenuhi segala macam masalah.
Media sekarang memiliki cakupan global, dan hanya sesuatu yang luar biasa secara global saja yang akan terlihat sebagai achievement, diluar itu, semua hanya kelihatan biasa-biasa saja. Orang terlalu cepat lupa,tentang pencapaian hal-hal yang luar biasa atau bahkan ajaib dari sisi logika seperti teknologi seluler, mikroelektronika, komputer dan teknologi informasi. Orang melihat video-conference yang ditawarkan para operator seluler sekarang, seperti yang digambarkan di komik Flash Gordon jaman dahulu, hanya terheran-heran untuk beberapa hari saja, sesudah itu semua berjalan seperti biasa seolah-olah memang sudah seharusnya begitu.
Apabila dahulu kita bingung membayangkan bagaimana nasib kita dimasa depan apabila kita dibanjiri dengan informasi global, tidak perlu heran bahwa saat itu cepat atau lambat akan terjadi, dan saat itu ternyata adalah sekarang, dan krisis percaya diri tadi adalah hanya salah satu dampaknya.
Maka dari itu, bisa jadi penguasaan teknologi kita sebenarnya maju, tetapi tidak dengan skenario yang dibayangkan oleh publik kita. Orang masih berpikir dengan pola teknologi yang dikembangkan dan dikuasai dulu oleh negara maupun elite kemudian di spin-off ke masyarakat swasta. Di era banjir informasi apakah hal seperti itu masih jadi mode?
Di samping itu, mengapa mesti terkotak-kotak dengan istilah bangsa ini terpuruk atau tidak? Bahwa ada anggota masyarakat kita yang gagap teknologi tidak menjadikan kita bangsa gaptek. Energi kreatif kita bisa habis menguap hanya karena sibuk memikirkan apakah kita memang begitu.
MENGARAHKAN OPINI PUBLIK
Oleh: Haryatmoko
Akhir-akhir ini, berbagai hasil jajak pendapat ikut memanaskan atmosfer politik Indonesia. Dengan mengklaim diri sebagai penelitian ilmiah, jajak pendapat ingin mencapai status obyektif atau bebas nilai, padahal ia merupakan bagian dari strategi kekuasaan.
M Foucault dengan jeli menyingkap, status ilmiah merupakan cara kekuasaan memaksakan pandangannya kepada publik tanpa memberi kesan berasal dari pihak tertentu (1980). Kriteria ilmiah seakan mandiri terpisah dari kepentingan subyek.
Opini publik perlu dimengerti dalam konteks di mana publik terbentuk karena ada orang atau kelompok yang memiliki kepedulian terhadap suatu masalah (termasuk responden dan peneliti jajak pendapat). Mereka mencoba menemukan sebabnya atau menelisik penanggung jawab yang mengakibatkan masalah itu.
Kerancuan deskripsi Publik bukan sekadar sekumpulan orang yang didorong sikap atau kepentingan. Mereka tercipta berkat wacana yang menyatukan dengan menyesuaikan opininya. Lalu terbentuk publik yang mengenali diri sebagai anggota kelompok yang lebih kurang sama. Maka, opini pertama-tama bukan sikap, tetapi proyeksi atau prakiraan.
Publik dimengerti sebagai bentuk koordinasi kolektif yang memiliki tiga hal. Pertama, identitas lebih kurang sama; kedua, setuju atas diagnostik masalah (sebab, tanggung jawab, dan pemecahan); ketiga, ikut terlibat untuk suatu upaya kolektif.
Jadi, opini selalu kontekstual terkait dengan budaya dan dinamika perdebatan. Jajak pendapat tidak lain kecuali sarana penyesuaian opini kolektif tidak berbeda dari fungsi media massa. Jajak pendapat tidak hanya cermin opini bersama, tetapi juga merupakan panggung debat publik.
Menjawab jajak pendapat berarti mengungkap pandangan di ruang publik. Ada tiga alasan yang mendasari (M Brougidou, 2008:14). Pertama, responden sadar tidak sendiri ambil bagian dalam jajak pendapat; kedua, responden tahu biasanya hasil dipublikasikan dan menjadi bahan komentar publik; ketiga, cakrawala yang didefinisikan oleh publikasi opini memberi bentuk terhadap posisi sikapnya. Pandangan pribadi biasanya berakar pada nilai komunitas politiknya.
Prapemahaman pada diri peneliti, metode yang dipakai, dan konteksnya membuat jajak pendapat mudah terjebak dalam kerancuan antara deskripsi netral atau mengungkap situasi mental (sikap), atau dilibatkan dalam memproduksi rumusan bahasa yang sudah dirancang atau disesuaikan dengan konteks tertentu. Responden bisa tidak lagi memberi deskripsi obyek, tetapi apa yang dirasakan atau membangun suatu versi tentang obyek. Jadi, tidak jarang hasil jajak pendapat akan mencampuradukkan antara deskripsi, evaluasi, dan penjelasan.
Apakah validitas jajak pendapat hanya diukur dari sikap yang diambil dari sampel yang dianggap representatif? Sebetulnya dalam jajak pendapat yang utama adalah mengambil wacana para pelaku, citra, kisah, dan argumen mereka yang membentuk ruang bersama terkait dengan suatu masalah dan dengan demikian bisa mengidentifikasi publik.
Namun, dalam kenyataan, jajak pendapat sering dikaitkan dengan upaya elite untuk mengontrol dan mengawasi opini publik. Boleh jadi upaya untuk mengukur dan mengetahui opini publik tidak lain kecuali upaya untuk menjinakkannya. Jajak pendapat biasanya mendasarkan legitimasinya pada dua bentuk representativitas: representativitas statistik yang mendeskripsikan penjumlahan opini-opini dan representativitas politik yang mendasarkan pada prinsip satu orang satu suara.
Ketidakseimbangan Politisi sering menggunakan hasil jajak pendapat dan menggunakannya untuk komunikasi politik di media sehingga memberi bentuk realitas pada opini publik. Artinya, hasil jajak pendapat digunakan untuk mengarahkan opini publik. Dari sudut demokrasi deliberatif, opini yang dikumpulkan dalam jajak pendapat bisa dipertanyakan ciri ”publik”-nya karena bukan buah pertimbangan dan diskusi publik. Ada bias karena dampak penetapan masalah oleh peneliti menyebabkan ketidakseimbangan informasi di antara responden. Lalu aneka pertanyaan peneliti cenderung sudah mengarahkan ke opini tertentu. Tentu saja metode yang digunakan (pertanyaan terbuka-tertutup) akan menentukan hasilnya. Kendati demikian, tetap saja konstruksi nilai sudah terjadi.
Sikap memang dihasilkan oleh lingkungan psikologis dan sosial, tetapi berfungsi dengan penuh selubung tidak sesadar seperti peneliti/penganalisis. Padahal, peneliti sering sudah puas bila bisa menunjukkan hubungan statistik tanpa dapat menjelaskan melalui teori sosial.
Jika demikian, opini publik seolah seperti entitas kolektif, hasil struktur sosial yang dianggap sebagai hasil yang stabil dari proses interaksi komunikasi politik. Padahal, opini publik tidak stabil dan warga negara tidak selalu memiliki sikap berhadapan dengan masalah-masalah yang dibicarakan dalam diskusi publik (JR Ziller, 1992). Maka, perlukah menyusun kode etik atau mengatur instansi-instansi yang melakukan jajak pendapat bila upaya itu tidak lebih dari opini juga? Upaya yang perlu, pertama, adalah menyingkap, jajak pendapat tidak lain kecuali opini; kedua, jika mau membantah hasilnya, perlu dibuat penelitian tandingan.
Jajak pendapat seharusnya diarahkan untuk menemukan kembali dinamika perdebatan publik melalui interaksi antara pertanyaan tertutup dan terbuka. Jawaban-jawaban mereka (posisi dan dasar pembenaran) mencerminkan dinamika perdebatan publik. Maka, statistik bukan untuk menggambarkan representasi politik (satu orang satu suara), tetapi harus dilihat dalam kerangka demokrasi deliberatif, yaitu memberi kesempatan kepada suatu suara mengungkap alasan-alasannya.
Memang, dalam ilmu-ilmu sosial, konteks determinasi penelitian pragmatis biasanya tidak lepas dari soal politik yang kental dengan aspek retorika dan tujuan penelitian (JM Berthelot, 2001:206). Tujuannya, menekankan kegunaan atau kemampuan menjawab kebutuhan, maka pesan sponsor amat memengaruhi hasil. Penelitian tidak lepas dari pengaruh kepentingan dan nilai-nilai tertentu.
Penulis: Dosen Pascasarjana FIB UI dan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Langganan:
Postingan (Atom)