OPINI PUBLIK
Pengertian Publik
Pengertian publik secara umum adalah sekelompok individu dalam jumlah besar. Sedangkan Emery Borgadus menyebutnya : “Sejumlah orang yang bersat dalam satu ikatan dan memiliki pendirian yang sama terhadap suatu masalah sosial”
Pengertian Opini Publik
Pengertian Opini publik dari Prof. W. Doop : “Pendapat umum yang menunjukan sikap kelompok orang terhadap suatu permasalahan”
Sedangkan Willian Albig : “Opini publik adalah ekspresi segenap anggota suatu kelompok yang berkepentingan terhadap sesuatui masalah”.
Jika diartikan secara harfiah dalam bahasa Indonesia Opini Publik bisa berarti pendapat umum masyarakat.Sedangkan dalam Wikipedia penjelasan Opini publik adalah pendapat kelompok masyarakat atau sintesa dari pendapat dan diperoleh dari suatu diskusi sosial dari pihak-pihak yang memiliki kaitan kepentingan.
Agregat dari sikap dan kepercayaan ini biasanya dianut oleh populasi orang dewasa.[rujukan?]. Dalam menentukan opini publik, yang dihitung bukanlah jumlah mayoritasnya (numerical majority) namun mayoritas yang efektif (effective majority).[rujukan?] Subyek opini publik adalah masalah baru yang kontroversial dimana unsur-unsur opini publik adalah: pernyataan yang kontroversial, mengenai suatu hal yang bertentangan, dan reaksi pertama/gagasan baru.[rujukan?]
Pendekatan prinsip terhadap kajian opini publik dapat dibagi menjadi 4 kategori:
1. pengukuran kuantitatif terhadap distribusi opini[rujukan?]
2. penelitian terhadap hubungan internal antara opini individu yang membentuk opini publik pada suatu permasalahan[rujukan?]
3. deskripsi tentang atau analisis terhadap peran publik dari opini publik[rujukan?]
4. kajian baik terhadap media komunikasi yang memunculkan gagasan yang menjadi dasar opini maupun terhadap penggunaan media oleh pelaku propaganda dan manipulasi.[rujukan?]
Bicara Opini Publik maka kita bisa melihat realitas sekarang ini di Indonesia. Dimana media setiap saat berupaya menggiring pendengar, pembaca dan pemirsanya untuk membentuk opini. Produk jurnalistik seperti berita, komentar, ulasan, dan lainnya banyak diarahkan untuk pembentukan opini.
Tidak heran kemudian jika mulai Presiden hingga Bupati walikota, saat ini peka terhadap media massa. Khususnya dalam hal pencitraan pemerintah. Bukan karena mereka responsive terhadap tuntutan masyarakat, tapi lebih pada ketakutan hilangnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah akibat terbentuknya opini publik yang negative terhadap mereka.
PERAN MEDIA DALAM PEMBENTUKAN OPINI PUBLIK
(Nurul Fikri PPSDM)
Peran media dalam pembentukan opini semakin masif dalam beberapa dekade terakhir. Semakin pentingnya peran media dalam pembentukan opini publik tidak terlepas dari pesatnya peningkatan teknologi informasi dan komunikasi. Jika pada 10 tahun sebelumnya seseorang masih sulit untuk dapat mengakses internet, namun hari ini setiap orang dapat mengakses internet secara mobile. Jika 10 tahun sebelumnya jumlah stasiun televisi sangat terbatas, namun hari ini jumlah stasiun televisi semakin banyak dan dengan tingkat coverage yang lebih luas. Bahkan, hari ini kita dapat mengakses jaringan internasional, sesuatu yang mustahil dilakukan pada beberapa tahun yang lalu.
Walaupun tidak semasif beberapa tahun terakhir, media di masa lalu juga memiliki peran yang besar dalam membentuk opini publik. Contohnya adalah bagaimana publik melihat Sukarno sebagai seorang pemimpin besar Indonesia. Lewat radio pada saat itu, Sukarno berhasil membangun citra pemimpin kharismatik di masyarakat Indonesia, walaupun sebagian masyarakat mengetahui bahwa dalam praktek Sukarno adalah pemimpin yang otoriter. Namun sekali lagi, peran media telah menggeser opini publik terhadap citra Sukarno dari seorang pemimpin diktator menjadi pemimpin yang kharismatik dan dibanggakan oleh masyarakat Indonesia.
Peranan media masa tersebut tentunya tidak dapat dilepaskan dari arti keberadaan media itu sendiri. Marshall McLuhan, seorang sosiolog Kanada mengatakan bahwa ”media is the extension of men”. Pada awalnya, ketika teknologi masih terbatas maka seseorang harus melakukan komunikasi secara langsung. Tetapi, seiring dengan peningkatan teknologi, maka media massa menjadi sarana dalam memberikan informasi, serta melaksanakan komunikasi dan dialog. Secara tidak langsung, dengan makna keberadaan media itu sendiri, maka media menjadi sarana dalam upaya perluasan ide-ide, gagasan-gagasan dan pemikiran terhadap kenyataan sosial (Dedy Jamaludi Malik, 2001: 23)
Dengan peran tersebut, media massa menjadi sebuah agen dalam membentuk citra di masyarakat. Pemberitaan di media massa sangat terkait dengan pembentukan citra, karena pada dasarnya komunikasi itu proses interaksi sosial, yang digunakan untuk menyusun makna yang membentuk citra tersendiri mengenai dunia dan bertukar citra melalui simbol-simbol (Nimmo, 1999). Dalam konteks tersebut, media memainkan peranan penting untuk konstruksi realitas sosial.
Sebagai seorang praktisi media massa, Direktur Pemberitaan TV One, Karni Ilyas atau biasa disebut ”Bang One”, telah menunjukan betapa strategisnya peran media dalam pembentukan realitas sosial. Berbagai contoh seperti pencitraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2004, kasus Manohara yang mengkonstruksi opini masyarakat bahwa dia sebagai orang yang perlu dilindungi, dan terakhir adalah citra terhadap KPK sebagai institusi pemberantasan korupsi; tidak dapat dilepaskan dari peran media dalam membentuk opini publik.
Namun, Karni Ilyas menyatakan bahwa pembentukan opini publik tidak sepenuhnya menjadi monopoli media massa. Masyarakat juga memiliki peran dalam mencerna informasi yang didapat dari media. Dalam hal itu, maka faktor relativisme budaya masyarakat menjadi hal yang penting dalam proses keberterimaan sebuah opini publik.
Dengan perannya yang sangat besar dalam pembentukan opini publik, maka sudah sejatinya gerakan mahasiswa dapat memanfaatkan keran-keran media massa dalam melakukan adovokasi kebijakan publik. Penyebaran diskursus-diskursus dalam public sphare inilah yang seharusnya lebih dimaksimalkan oleh gerakan mahasiswa agar gerakan mahasiswa lebih efektif dalam mencapai tujuan-tujuan gerakannya.
*) Peserta PPSDMS Regional 1 Jakarta, mahasiswa program studi Ilmu Hubungan Internasional di Universitas Indonesia.
Contoh masalah adalah pada awal bulan September 2010 malam, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyampaikan pidato mengenai hubungan Indonesia dan Malaysia. Terkait insiden penangkapan aparat kelautan RI oleh TM Malaysia.
Menyimak pemberitaan media beberapa hari terakhir, amat sulit menghindari kesan bahwa di antara sebagian masyarakat ada juga war monger dengan slogan-slogan jingoism kosong semacam “Ganyang Malaysia.” Seolah-olah, urusan perang antarnegara semudah urusan perang antarkampung, atau tawuran antarsekolah, atau semudah menyerang kelompok-kelompok yang tidak sehaluan dengan kelompoknya, yang beritanya sering menghiasi media massa kita itu. Banalitas kekerasan domestik negeri kita sepertinya menemukan outlet baru, sekarang berkembang dalam bahasa-bahasa kekerasan untuk negara tetangga.
Ada beberapa hal penting yang bisa dipelajari dari mengerasnya opini publik belakangan ini terhadap isu hubungan Indonesia dan Malaysia ini.
Pelajaran pertama, diplomasi dan politik luar negeri kita pada akhirnya juga tidak bisa menghindar dari arus demokratisasi. Sebelumnya, isu diplomasi dan politik luar negeri seringkali dianggap domain milik negara, yang jarang tersentuh warga negara. Warga negara seolah memberi blanko kosong kepada negara untuk menjalankan hubungan luar negeri. Sepanjang masa otoritarian Orde Baru, diplomasi dan politik luar negeri tidak sensitif terhadap opini publik. Suara-suara keras yang menuntut pemerintah bertindak “tegas” terhadap Malaysia, sejatinya adalah hal lumrah dalam sebuah negeri yang demokratis.
Menariknya, pemberitaan pers di Malaysia tidak seriuh rendah media di Indonesia. Sangat boleh jadi, sepinya media di Malaysia dan riuh rendahnya media di Indonesia menunjukan semakin demokratisnya Indonesia dan masih tertutupnya sistem politik di Malaysia.
Perlakuan sewenang-eenang pemerintah Malaysia terhadap warga Indonesia, semisal para TKI, dengan cepat tersiar kabarnya melalui media di Indonesia dan seketika membakar rasa patriotisme banyak orang. Di lain pihak, media di Malaysia biasanya adem ayem.
Analogi yang sedikit mirip dengan situasi itu adalah ini: lima wartawan Australia terbunuh di Timor Timur tahun 1975. Ketika itu, media dan masyarakat Australia meradang, tapi media dan masyarakat Indonesia adem ayem, seolah tidak terjadi apa-apa. Pemerintah Australia saat itu kewalahan meredam kerasnya opini publik dalam negeri, sementara pada saat bersamaaan berusaha keras menjaga hubungan baik dengan pemerintah Indonesia. Persamaannya dengan situasi kita sekarang dalam persoalan dengan Malaysia adalah bahwa media dan opini publik dalam alam demokrasi memang gaduh. Tetapi di situlah deliberasi beragam opini terjadi, demi membentuk publik yang (semestinya) lebih rasional.
Pelajaran kedua, pidato SBY itu menunjukkan proses berpolitik (luar negeri) yang rasional. Hans Morgenthau dalam risalah klasiknya, Politics among Nations, menuliskan bahwa praktik diplomasi dan politik luar negeri seringkali bertentangan dengan opini publik.
Berkenaan dengan itu, seperti diproposisikan Morgenthau, ada tiga hal yang selalu melatarbelakangi diplomasi dan politik luar negeri. Hal pertama adalah pertentangan antara opsi-opsi bagi diplomasi dan politik luar negeri yang baik bisa jadi bertentangan dengan opini publik. Toh, pemerintah bisa memberi “konsesi” untuk mengurangi oposisi terhadap kebijakan luar negeri. Pidato SBY yang menjabarkan langkah-langkah yang telah diambil untuk menyelesaikan insiden di seputar perairan Bintan pada 13 Agustus 2010 lalu, menurut penulis, adalah bentuk “konsesi” yang dimaksud.
Hal kedua, pemerintah sebagai pelaksana hubungan luar negeri harus menyadari bahwa ia adalah “leader”, bukan “slave” dari opini publik. Opini publik tidak membentuk kebijakan. Sebaliknya, menurut Morgenthau, opini publik akan dibentuk oleh kepemimpinan yang baik dan bertanggung jawab.
Hal ketiga, pemerintah selaku pelaksana diplomasi dan politik luar negeri harus mampu membedakan hal yang desirable dalam politik luar negeri dengan hal yang esensial. Tentu yang harus didahulukan adalah hal yang esensial. Politics Among Nations mengingatkan, pemerintah pelaksana diplomasi dan politik luar negeri bisa saja mengikuti opini publik untuk hal yang non-esensial. Namun ia harus berani beradu argumentasi dengan publik untuk hal yang esensial. Pidato SBY telah melakukan itu dengan menjabarkan elemen esensial dalam hubungan Indonesia dan Malaysia yang harus terus dijaga demi kemaslahatan negeri kita sendiri.
(Penulis adalah peneliti CSIS dan kandidat doktor ilmu politik di Northern Illinois University Amerika Serikat) Philip Vermonte
Kepentingan Masyarakat ---- Terwakili dalam Opini Publik
Eep : Mewakili masyarakat, Partai , Media massa (radio, televise, sk, majalah)
Mewakili masyarakat seperti apa ?
Klaim mewakili masyarakat dasarnya abstrack !
Belum cukup bisa dipertanggungjawabkan.
Klaim, Legalisasi, dasar yang abash untuk menuntut/ menunjukan suatu sikap (politik biasanya)
Bagaimana mengetahui Opini Publik
Untuk Apa membicarakan Opini Publik.
Apa pentingnya membahas Opini publik (negara harus memperhatikan opini publik ?)
DEMOKRASI DAN OPINI PUBLIK
Dalam negara yang menganut Demokrasi, Opini Publik mendapat tempat terbuka. Masyarakat dapat menyampaikan pendapatnya mengenai kebijakan pemerintah secara bebas. Baik melalui media massa, tulisan maupun penelitian ilmiah yang menegaskan sikap pandangan sebagian masyarakat. Keterbukaan seperti ini sulit ditemui di negara dengan sistem totaliter, monarki, maupun sosialis.
Opini publik yang berkembang di negara dengan sistem demokrasi seperti Indonesia. Mendapat tempat dan tumbuh subur karena sebelumnya Indonesia menganut demokrasi terpimpin dan demokrasi pancasila yang sesungguhnya dikendalikan penguasa. Dengan demokrasi yang cenderung liberal sekarang, bahkan banyak lembaga kemasyarakatan membangun kepentingannya untuk menciptakan opini publik sepihak. Namun demikian dengan banyaknya lembaga tersebut maka banyak opini publik berkembang sesuai standar masing-masing.
Media massa membangun opini publik untuk kepentingan pembaca dan masyarakat lainnya, agar citra lembaga penerbitan mereka lebih dipercaya atau menjadi barometer media lainnya. Sedangkan lembaga lembaga survey dan kelompok masyarakat teroganisir, membangun opini untuk kepentingannya dan membangun keseimbangan dengan pemerintah.
PUBLIK OPINION IN DEMOKRATIC SOCIETY
Masyarakat demokrasi cenderung menyampaikan pendapatnya melalui saluran yang mereka yakini mampu mewakili suara mereka. Seperti menyuarakan pendapatnya pada media massa, baik langsung maupun tidaklangsung. Suara mereka diserap media massa sebagai bahan untukmelakukan survey yang lebih luas tentang sikap masyarakat/ warga terhadap sesuatu masalah yang sedang menjadi perhatian. Baik Ekonomi, sosial, politik, keamanan dan budaya.
Sejarah ?
Perkembangan ?
Kegunaan ?
SEBERAPA BESAR KITA HARUS PERCAYA PADA OPINI PUBLIK
Hampir tiap hari kita membaca dan mendengar berita di Radio dan TV maupun artikel, di media cetak, pemberitaan di media massa sarat isu tentang kekalahan kita disemua lini, secara khusus yang saya maksudkan disini adalah bidang teknologi. Seolah setelah beberapa dekade hidup dalam optimisme semu yang dibentuk dimasa Orde Baru, tabu rasanya untuk mengemukakan hal yang berbau keberhasilan. Selain barangkali memang begitu adanya, tetapi boleh jadi juga karena menyatakan keberhasilan kepada publik di masa ini terasa sebagai suatu bentuk manipulasi, terasa sebagai pesan titipan pemerintah, yang dimasa swasta ini citranya selalu dipandang dengan dahi mengerenyit.
Publik cenderung memiliki attention-span yang sangat terbatas dalam mempersepsikan sesuatu. Penilaian obyektif kita terhadap suatu masalah, dalam banyak hal sering kali tidak perlu memilik korelasi positif dengan apa yang dipercaya oleh suatu komunitas yang kita berada didalamnya.
Publik hanya mampu faham bahasa ekstrem, berhasil atau tidak, setuju atau tidak, dan media sebenarnya lebih berperan menyimpulkan apa yang disukai oleh publik, sesuatu yang dibawah sadar ingin didengar oleh publik dibandingkan dengan realitas.
Analogi
Saya ingin menganalogikan pandangan terhadap pembentukan opini publik dengan pandangan terhadap para marketers menurut Seth Godin dalam bukunya ’All marketers are liars’, yang mengatakan bahwa fungsi marketers adalah menceritakan apa yang sebenarnya ingin didengar oleh konsumen, dan bukan sebaliknya, yaitu mempersuasi konsumennya seperti yang selama ini dibayangkan. Saya melihat bahwa pembentukan opini publik melalui media didalam banyak hal juga tidak jauh berbeda. Media memang mengedukasi masyarakat, tetapi lebih banyak disetir kearah yang masyarakat kehendaki sendiri.
Jadi saya tidak terlalu kuatir dengan berbagai opini maupun editorial maupun segala macam rating tentang posisi kita yang terpuruk di bidang teknologi. Kita bukan tepuruk, tetapi kita majunya tidak secepat negara industri. Bedanya, dahulu media dikendalikan oleh elite yang berkepentingan untuk terlihat berhasil memajukan teknologi, sementara sekarang, media adalah milik publik yang memang dipenuhi segala macam masalah.
Media sekarang memiliki cakupan global, dan hanya sesuatu yang luar biasa secara global saja yang akan terlihat sebagai achievement, diluar itu, semua hanya kelihatan biasa-biasa saja. Orang terlalu cepat lupa,tentang pencapaian hal-hal yang luar biasa atau bahkan ajaib dari sisi logika seperti teknologi seluler, mikroelektronika, komputer dan teknologi informasi. Orang melihat video-conference yang ditawarkan para operator seluler sekarang, seperti yang digambarkan di komik Flash Gordon jaman dahulu, hanya terheran-heran untuk beberapa hari saja, sesudah itu semua berjalan seperti biasa seolah-olah memang sudah seharusnya begitu.
Apabila dahulu kita bingung membayangkan bagaimana nasib kita dimasa depan apabila kita dibanjiri dengan informasi global, tidak perlu heran bahwa saat itu cepat atau lambat akan terjadi, dan saat itu ternyata adalah sekarang, dan krisis percaya diri tadi adalah hanya salah satu dampaknya.
Maka dari itu, bisa jadi penguasaan teknologi kita sebenarnya maju, tetapi tidak dengan skenario yang dibayangkan oleh publik kita. Orang masih berpikir dengan pola teknologi yang dikembangkan dan dikuasai dulu oleh negara maupun elite kemudian di spin-off ke masyarakat swasta. Di era banjir informasi apakah hal seperti itu masih jadi mode?
Di samping itu, mengapa mesti terkotak-kotak dengan istilah bangsa ini terpuruk atau tidak? Bahwa ada anggota masyarakat kita yang gagap teknologi tidak menjadikan kita bangsa gaptek. Energi kreatif kita bisa habis menguap hanya karena sibuk memikirkan apakah kita memang begitu.
MENGARAHKAN OPINI PUBLIK
Oleh: Haryatmoko
Akhir-akhir ini, berbagai hasil jajak pendapat ikut memanaskan atmosfer politik Indonesia. Dengan mengklaim diri sebagai penelitian ilmiah, jajak pendapat ingin mencapai status obyektif atau bebas nilai, padahal ia merupakan bagian dari strategi kekuasaan.
M Foucault dengan jeli menyingkap, status ilmiah merupakan cara kekuasaan memaksakan pandangannya kepada publik tanpa memberi kesan berasal dari pihak tertentu (1980). Kriteria ilmiah seakan mandiri terpisah dari kepentingan subyek.
Opini publik perlu dimengerti dalam konteks di mana publik terbentuk karena ada orang atau kelompok yang memiliki kepedulian terhadap suatu masalah (termasuk responden dan peneliti jajak pendapat). Mereka mencoba menemukan sebabnya atau menelisik penanggung jawab yang mengakibatkan masalah itu.
Kerancuan deskripsi Publik bukan sekadar sekumpulan orang yang didorong sikap atau kepentingan. Mereka tercipta berkat wacana yang menyatukan dengan menyesuaikan opininya. Lalu terbentuk publik yang mengenali diri sebagai anggota kelompok yang lebih kurang sama. Maka, opini pertama-tama bukan sikap, tetapi proyeksi atau prakiraan.
Publik dimengerti sebagai bentuk koordinasi kolektif yang memiliki tiga hal. Pertama, identitas lebih kurang sama; kedua, setuju atas diagnostik masalah (sebab, tanggung jawab, dan pemecahan); ketiga, ikut terlibat untuk suatu upaya kolektif.
Jadi, opini selalu kontekstual terkait dengan budaya dan dinamika perdebatan. Jajak pendapat tidak lain kecuali sarana penyesuaian opini kolektif tidak berbeda dari fungsi media massa. Jajak pendapat tidak hanya cermin opini bersama, tetapi juga merupakan panggung debat publik.
Menjawab jajak pendapat berarti mengungkap pandangan di ruang publik. Ada tiga alasan yang mendasari (M Brougidou, 2008:14). Pertama, responden sadar tidak sendiri ambil bagian dalam jajak pendapat; kedua, responden tahu biasanya hasil dipublikasikan dan menjadi bahan komentar publik; ketiga, cakrawala yang didefinisikan oleh publikasi opini memberi bentuk terhadap posisi sikapnya. Pandangan pribadi biasanya berakar pada nilai komunitas politiknya.
Prapemahaman pada diri peneliti, metode yang dipakai, dan konteksnya membuat jajak pendapat mudah terjebak dalam kerancuan antara deskripsi netral atau mengungkap situasi mental (sikap), atau dilibatkan dalam memproduksi rumusan bahasa yang sudah dirancang atau disesuaikan dengan konteks tertentu. Responden bisa tidak lagi memberi deskripsi obyek, tetapi apa yang dirasakan atau membangun suatu versi tentang obyek. Jadi, tidak jarang hasil jajak pendapat akan mencampuradukkan antara deskripsi, evaluasi, dan penjelasan.
Apakah validitas jajak pendapat hanya diukur dari sikap yang diambil dari sampel yang dianggap representatif? Sebetulnya dalam jajak pendapat yang utama adalah mengambil wacana para pelaku, citra, kisah, dan argumen mereka yang membentuk ruang bersama terkait dengan suatu masalah dan dengan demikian bisa mengidentifikasi publik.
Namun, dalam kenyataan, jajak pendapat sering dikaitkan dengan upaya elite untuk mengontrol dan mengawasi opini publik. Boleh jadi upaya untuk mengukur dan mengetahui opini publik tidak lain kecuali upaya untuk menjinakkannya. Jajak pendapat biasanya mendasarkan legitimasinya pada dua bentuk representativitas: representativitas statistik yang mendeskripsikan penjumlahan opini-opini dan representativitas politik yang mendasarkan pada prinsip satu orang satu suara.
Ketidakseimbangan Politisi sering menggunakan hasil jajak pendapat dan menggunakannya untuk komunikasi politik di media sehingga memberi bentuk realitas pada opini publik. Artinya, hasil jajak pendapat digunakan untuk mengarahkan opini publik. Dari sudut demokrasi deliberatif, opini yang dikumpulkan dalam jajak pendapat bisa dipertanyakan ciri ”publik”-nya karena bukan buah pertimbangan dan diskusi publik. Ada bias karena dampak penetapan masalah oleh peneliti menyebabkan ketidakseimbangan informasi di antara responden. Lalu aneka pertanyaan peneliti cenderung sudah mengarahkan ke opini tertentu. Tentu saja metode yang digunakan (pertanyaan terbuka-tertutup) akan menentukan hasilnya. Kendati demikian, tetap saja konstruksi nilai sudah terjadi.
Sikap memang dihasilkan oleh lingkungan psikologis dan sosial, tetapi berfungsi dengan penuh selubung tidak sesadar seperti peneliti/penganalisis. Padahal, peneliti sering sudah puas bila bisa menunjukkan hubungan statistik tanpa dapat menjelaskan melalui teori sosial.
Jika demikian, opini publik seolah seperti entitas kolektif, hasil struktur sosial yang dianggap sebagai hasil yang stabil dari proses interaksi komunikasi politik. Padahal, opini publik tidak stabil dan warga negara tidak selalu memiliki sikap berhadapan dengan masalah-masalah yang dibicarakan dalam diskusi publik (JR Ziller, 1992). Maka, perlukah menyusun kode etik atau mengatur instansi-instansi yang melakukan jajak pendapat bila upaya itu tidak lebih dari opini juga? Upaya yang perlu, pertama, adalah menyingkap, jajak pendapat tidak lain kecuali opini; kedua, jika mau membantah hasilnya, perlu dibuat penelitian tandingan.
Jajak pendapat seharusnya diarahkan untuk menemukan kembali dinamika perdebatan publik melalui interaksi antara pertanyaan tertutup dan terbuka. Jawaban-jawaban mereka (posisi dan dasar pembenaran) mencerminkan dinamika perdebatan publik. Maka, statistik bukan untuk menggambarkan representasi politik (satu orang satu suara), tetapi harus dilihat dalam kerangka demokrasi deliberatif, yaitu memberi kesempatan kepada suatu suara mengungkap alasan-alasannya.
Memang, dalam ilmu-ilmu sosial, konteks determinasi penelitian pragmatis biasanya tidak lepas dari soal politik yang kental dengan aspek retorika dan tujuan penelitian (JM Berthelot, 2001:206). Tujuannya, menekankan kegunaan atau kemampuan menjawab kebutuhan, maka pesan sponsor amat memengaruhi hasil. Penelitian tidak lepas dari pengaruh kepentingan dan nilai-nilai tertentu.
Penulis: Dosen Pascasarjana FIB UI dan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Selasa, 25 Januari 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar