Peradaban masyarakat Madinah pada masa awal adalah bukti konkret keberhasilan dakwah Rasulullah Muhammad SAW. Digambarkan, hubungan sosial masyarakatnya sangat hangat dan indah, saling menghargai dan menghormati di tengah-tengah perbedaan, tidak saling memaksakan kehendak dan pendapat sendiri. Keberhasilan ini tidak lepas dari kemampuan Rasulullah dalam mengkomunikasikan ajaran-ajaran Ilahi dengan baik yang ditopang dengan keluhuran budi pekerti. Jika ditelusuri sirah (sejarah) Nabi, akan dijumpai bahwa keberhasilan itu karena beliau menerapkan seluruh prinsip-prinsip komunikasi dalam al-Qur'an secara konsisten. Tulisan ini mencoba menjelaskan tentang prinsip-prinsip komunikasi dengan mengambil inspirasi dari al-Qur'an, bagaimana harus dipahami dan dimaknai pada masa modern dewasa ini sebagai landasan etis untuk pengembangan ilmu komunikasi yang lebih luhur dan mencerahkan.
MANUSIA, di samping makhluk beragama, adalah makhluk sosial, yaitu makhluk yang selalu hidup bermasyarakat dan senantiasa membutuhkan peran-serta pihak lain. Artinya, berinteraksi sosial atau hidup bermasyarakat merupakan sesuatu yang tumbuh sesuai dengan fitrah dan kebutuhan kemanusiaan. Dalam hal ini, al-Qur`an banyak memberikan arahan atau nilai-nilai positif yang harus dikembangkan; juga nilai-nilai negatif yang semestinya untuk dihindarkan. Bahkan, di dalam QS. al-Hujurāt/49: 13, penggunaan redaksi ya ayyuhan-nas -walaupun ayatnya adalah madaniyah- menunjukkan bahwa saling mengenal yang dimaksudkan itu tidak membedakan suku, ras, bahasa, kebudayaan, bahkan ideologi. Maka, ketika manusia tidak peduli dengan lainnya, tidak mau saling mengenal atau, dengan istilah lain, ia lebih menonjolkan sikap egoistiknya, maka berarti ia telah kehilangan sifat dasar kemanusiaannya.
Manusia sebagai makhluk sosial menduduki posisi yang sangat penting dan strategis. Sebab, hanya manusialah satu-satunya makhluk yang diberi karunia bisa berbicara. Dengan kemampuan bicara itulah, memungkinkan manusia membangun hubungan sosialnya. Sebagaimana bisa dipahami dari firman Allah علمه البيان "mengajarnya pandai berbicara" (al-Rahmân/55: 4). Banyak penafsiran yang muncul berkenaan dengan kata al-bayān, namun yang paling kuat adalah berbicara (al-nuthq, al-kalām).[1] Hanya saja, menurut Ibn 'Asyur, kata al-bayān juga mencakup isyarah-isyarah lainnya, seperti kerlingan mata, anggukan kepala. Dengan demikian, al-bayān merupakan karunia yang terbesar bagi manusia. Bukan saja ia dapat dikenali jati dirinya, akan tetapi, ia menjadi pembeda dari binatan.[2]
Kemampuan bicara berarti kemampuan berkomunikasi. Berkomunikasi adalah sesuatu yang dihajatkan di hampir setiap kegiatan manusia. Dalam sebuah penelitian telah dibuktikan, hampir 75 % sejak bangun dari tidur manusia berada dalam kegiatan komunikasi. Dengan komunikasi kita dapat membentuk saling pengertian dan menumbuhkan persahabatan, memelihara kasih sayang, menyebarkan pengetahuan, dan melestarikan peradaban. Akan tetapi, dengan komunikasi, juga kita dapat menumbuh-suburkan perpecahan, menghidupkan permusuhan, menanamkan kebencian, merintangi kemajuan, dan menghambat pemikiran.[3]
Kenyataan ini sekaligus memberi gambaran betapa kegiatan komunikasi bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan oleh setiap manusia. Anggapan ini barangkali didasarkan atas dasar asumsi bahwa komunikasi merupakan suatu yang lumrah dan alamiah yang tidak perlu dipermasalahkan. Sedemikian lumrahnya, sehingga seseorang cenderung tidak melihat kompleksitasnya atau tidak menyadari bahwa dirinya sebenarnya berkekurangan atau tidak berkompeten dalam kegiatan pribadi yang paling pokok ini. Dengan demikian, berkomunikasi secara efektif sebenarnya merupakan suatu perbuatan yang paling sukar dan kompleks yang pernah dilakukan seseorang.[4]
Dalam sebuah ungkapan Arab disebutkan :الكلام صفة المتكلم Ucapan atau perkataan menggambarkan si pembicara'.[5] Dari pernyataan ini dapat dipahami bahwa perkataan/ucapan, atau dengan istilah lain, kemampuan berkomunikasi akan mencerminkan apakah seseorang adalah terpelajar atau tidak. Dengan demikian, berkomunikasi tidaklah identik dengan menyampaikan sebuah informasi. Para pakar komunikasi, sebagaimana yang dikutip oleh Jalaluddin Rahmat, berpendapat bahwa setiap komunikasi mengandung dua aspek, yaitu aspek isi dan aspek kandungan, di mana yang kedua mengklasifikasikan yang pertama dan karena itu merupakan metakomunikasi (di luar komunikasi). Komunikasi memang bukan hanya menyampaikan informasi tetapi yang terpenting adalah mengatur hubungan sosial di antara komunikan.[6]
Untuk itu, demi terciptanya suasana kehidupan yang harmonis antar anggota masyarakat, maka harus dikembangkan bentuk-bentuk komunikasi yang beradab, yang digambarkan oleh Jalaludin Rahmat, yaitu sebuah bentuk komunikasi di mana sang komunikator akan menghargai apa yang mereka hargai; ia berempati dan berusaha memahami realitas dari perspektif mereka. Pengetahuannya tentang khalayak bukanlah untuk menipu, tetapi untuk memahami mereka, dan bernegosiasi dengan mereka, serta bersama-sama saling memuliakan kemanusiaannya. Adapun gambaran kebalikannya yaitu apabila sang komunikator menjadikan pihak lain sebagai obyek; ia hanya menuntut agar orang lain bias memahami pendapatnya; sementara itu, ia sendiri tidak bisa menghormati pendapat orang lain. Dalam komunikasi bentuk kedua ini, bukan saja ia telah mendehumanisasikan mereka, tetapi juga dirinya sendiri.[7]
Prinsip-prinsip Komunikasi dalam al-Qur'an
Ada hal penting yang lebih dulu dijelaskan terkait dengan tema bahasan di atas. Pertama, al-Qur'an tidak memberikan uraian secara spesifik tentang komunikasi. Kata 'komunikasi' berasal dari bahasa Latin, communicatio, dan bersumber dari kata cummunis yang berarti sama, maksudnya sama makna. Artinya, suatu komunikasi dikatakan komunikatif jika antara masing-masing pihak mengerti bahasa yang digunakan, dan paham terhadap apa yang dipercakapkan.[8]
Dalam proses komunikasi, paling tidak, terdapat tiga unsur, yaitu komunikator, media dan komunikan.[9]
Para pakar komunikasi juga menjelaskan bahwa komunikasi tidak hanya bersifat informatif, yakni agar orang lain mengerti dan paham, tetapi juga persuasif, yaitu agar orang lain mau menerima ajaran atau informasi yang disampaikan, melakukan kegiatan atau perbuatan, dan lain-lain. Bahkan menurut Hovland, seperti yang dikutip oleh Onong, bahwa berkomunikasi bukan hanya terkait dengan penyampaian informasi, akan tetapi juga bertujuan pembentukan pendapat umum (public opinion) dan sikap publik (public attitude).[10]
Kedua, meskipun al-Qur'an secara spesifik tidak membicarakan masalah komunikasi, namun, jika diteliti ada banyak ayat yang memberikan gambaran umum prinsip-prinsip komunikasi. Dalam hal ini, penulis akan merujuk kepada term-term khusus yang diasumsikan sebagai penjelasan dari prinsip-prinsip komunikasi tersebut. Antara lain, term qaulan balighan, qaulan maisuran, qaulan kariman, qaulan ma'rufan, qaulan layyinan, qaulan sadidan, juga termasuk qaul al-zur, dan lain-lain.
a. Prinsip Qaul baligh
Di dalam al-Qur'an term qaul baligh hanya disebutkan sekali, yaitu surah an-Nisa': 63:
فكيف إذا أصابتهم مصيبة بما قدمت أيديهم ثم جاءوك يحلفون بالله إن أردنا إلا إحسانا وتوفيقا, أولئك الذين يعلم الله ما فى قلوبهم فأعرض عنهم و عظهم و قل لهم فى أنفسهم قولا بليغا (النساء/4: 62-63)
"Maka bagaimana halnya apabila (kelak) musibah menimpa mereka (orang munafik) disebabkan perbuatan tangannya sendiri, kemudian mereka datang kepadamu (Muhammad) sambil bersumpah, "Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain kebaikan dan kedamaian." Mereka itu adalah orang-orang yang (sesungguhnya) Allah mengetahui apa yang ada di dalam hatinya. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka nasihat, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang membekas pada jiwanya. (Q.s. an-Nisa'/4: 62-63)
Ayat ini menginformasikan tentang kebusukan hati kaum munafik, bahwa mereka tidak akan pernah bertahkim kepada Rasulullah saw, meski mereka bersumpah atas nama Allah, kalau apa yang mereka lakukan semata-mata hanya menghendaki kebaikan. Walapun begitu, beliau dilarang menghukum mereka secara fisik (makna dari "berpalinglah dari mereka"), akan tetapi, cukup memberi nasehat sekaligus ancaman bahwa perbuatan buruknya akan mengakibatkan turunnya siksa Allah,[11] dan berkata kepada mereka dengan perkataan yang baligh.
Term balīgh, yang berasal dari ba la gha, oleh para ahli bahasa dipahami sampainya sesuatu kepada sesuatu yang lain. Juga bisa dimaknai dengan "cukup" (al-kifāyah). Sehingga perkataan yang balīgh adalah perkataan yang merasuk dan membekas dalam jiwa.[12] Sementara menurut al-Ishfahani,[13] bahwa perkataan tersebut mengandung tiga unsur utama, yaitu bahasanya tepat, sesuai dengan yang dikehendaki, dan isi perkataan adalah suatu kebenaran. Sedangkan term balīgh dalam konteks pembicara dan lawan bicara, adalah bahwa si pembicara secara sengaja hendak menyampaikan sesuatu dengan cara yang benar agar bisa diterima oleh pihak yang diajak bicara.
Secara rinci, para pakar sastra, seperti yang dikutip oleh Quraish Shihab, membuat kriteria-kriteria khusus tentang suatu pesan dianggap balīgh, antara lain:[14]
Tertampungnya seluruh pesan dalam kalimat yang disampaikan
Kalimatnya tidak bertele-tele, juga tidak terlalu pendek sehingga pengertiannya menjadi kabur
Pilihan kosa katanya tidak dirasakan asing bagi si pendengar
Kesesuaian kandungan dan gaya bahasa dengan lawan bicara
Kesesuaian dengan tata bahasa.
b. Prinsip Qaul karim
Term ini ditemukan di dalam al-Qur'an hanya sekali, yaitu surah al-Isra': 23:
و قضى ربك الا تعبدوا إلا إياه و بالوالدين احسانا, امايبلغن عندك الكبر احدهما او كلاهما فلا تقل لهما اف ولا تنهرهما و قل لهما قولا كريما (الاسراء/17: 23):
"Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik." (Q.s. al-Isra'/17: 23(
Ayat di atas menginformasikan bahwa ada dua ketetapan Allah yang menjadi kewajiban setiap manusia, yaitu menyembah Allah dan berbakti kepada kedua orang tua. Ajaran ini sebenarnya ajaran kemanusiaan yang bersifat umum, karena setiap manusia pasti menyandang dua predikat ini sekaligus, yakni sebagai makhluk ciptaan Allah, yang oleh karenanya harus menghamba kepada-Nya semata; dan anak dari kedua orang tuanya. Sebab, kedua orang tuanyalah yang menjadi perantara kehadirannya di muka bumi ini. Bukan hanya itu, struktur ayat ini, di mana dua pernyataan tersebut dirangkai dengan huruf wawu 'athaf, yang salah satu fungsinya adalah menggabungkan dua pernyataan yang tidak bisa saling dipisahkan, menunjukkan bahwa berbakti kepada kedua orag tua menjadi parameter bagi kualitas penghambaan manusia kepada Allah.
Dalam sebuah hadis dinyatakan:
عن أبى هريرة عن النبى صلى الله عليه وسلم قال رغم أنف ثم رغم أنف ثم رغم انف: رجل ادرك أحد أبويه او كلاهما عنده الكبر لم يدخل الجنة (رواه أحمد)
Dari Abi Hurairah r.a., dari Nabi Saw. Bersabda, "Merugilah 3 x, seseorang yang menemukan salah satu atau kedua orang tuanya sudah lanjut usia tidak bisa masuk surga. (H.r. Ahmad)
Berkaitan dengan inilah, al-Qur'an memberikan petunjuk bagaimana cara berprilaku dan berkomunikasi secara baik dan benar kepada kedua orang tua, terutama sekali, di saat keduanya atau salah satunya sudah berusia lanjut. Dalam hal ini, al-Qur'an menggunakan term karīm, yang secara kebahasaan berarti mulia. Term ini bisa disandarkan kepada Allah, misalnya, Allah Maha Karim, artinya Allah Maha Pemurah; juga bisa disandarkan kepada manusia, yaitu menyangkut keluhuran akhlak dan kebaikan prilakunya. Artinya, seseorang akan dikatakan karim, jika kedua hal itu benar-benar terbukti dan terlihat dalam kesehariannya.[15]
Namun, jika term karīm dirangkai dengan kata qaul atau perkataan, maka berarti suatu perkataan yang menjadikan pihak lain tetap dalam kemuliaan, atau perkataan yang membawa manfaat bagi pihak lain tanpa bermaksud merendahkan.[16] Di sinilah Sayyid Quthb menyatakan bahwa perkataan yang karīm, dalam konteks hubungan dengan kedua orang tua, pada hakikatnya adalah tingkatan yang tertinggi yang harus dilakukan oleh seorang anak. Yakni, bagaimana ia berkata kepadanya, namun keduanya tetap merasa dimuliakan dan dihormati.[17] Ibn 'Asyur menyatakan bahwa qaul karīm adalah perkataan yang tidak memojokkan pihak lain yang membuat dirinya merasa seakan terhina. Contoh yang paling jelas adalah ketika seorang anak ingin menasehati orang tuanya yang salah, yakni dengan tetap menjaga sopan santun dan tidak bermaksud menggurui, apalagi sampai menyinggung perasaannya.[18] Yang pasti qaul karīm, adalah setiap perkataan yang dikenal lembut, baik, yang mengandung unsur pemuliaan dan penghormatan.
c. Prinsip Qaul Maisūr
Di dalam al-Qur'an hanya ditemukan sekali saja, yaitu surah al-Isra'/17: 28:
و إما تعرضن عنهم ابتغاء رحمة من ربك ترجوها فقل لهم قولاميسورا (الاسراء/17: 28)
"Dan jika engkau berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang engkau harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang lemah lembut." (Q.s. al-Isra'/17: 28)
Ibn Zaid berkata, "Ayat ini turun berkenaan dengan kasus suatu kaum yang minta sesuatu kepada Rasulullah saw namun beliau tidak mengabulkan permintaannya, sebab beliau tahu kalau mereka seringkali membelanjakan harta kepada hal-hal yang tidak bermanfaat. Sehingga berpalingnya beliau adalah semata-mata karena berharap pahala. Sebab, dengan begitu beliau tidak mendukung kebiasaan buruknya dalam menghambur-hamburkan harta. Namun begitu, harus tetap berkata dengan perkataan yang menyenangkan atau melegakan."[19]
Ayat ini juga mengajarkan, apabila kita tidak bisa memberi atau mengabulkan permintaan karena memang tidak ada, maka harus disertai dengan perkataan yang baik dan alasan-alasan yang rasional. Pada prinsipnya, qaul maisūr adalah segala bentuk perkataan yang baik, lembut, dan melegakan.[20] Ada juga yang menjelaskan, qaul maisūr adalah menjawab dengan cara yang sangat baik, perkataan yang lembut dan tidak mengada-ada. Ada juga yang mengidentikkan qaul maisūr dengan qaul ma'rūf. Artinya, perkataan yang maisūr adalah ucapan yang wajar dan sudah dikenal sebagai perkataan yang baik bagi masyarakat setempat.[21]
d. Prinsip Qaul ma'ruf
Di dalam al-Qur'an term ini disebutkan sebanyak empat kali, yaitu Q.s. al-Baqarah/2: 235, al-Nisa'/4: 5 dan 8, al-Ahzab/33: 32. Di dalam Q.s. al-Baqarah/2: 235, qaul ma'ruf disebutkan dalam konteks meminang wanita yang telah ditinggal mati suaminya. Sementara di dalam Q.s. an-Nisa'/4: 5 dan 8, qaul ma'ruf dinyatakan dalam konteks tanggung jawab atas harta seorang anak yang belum memanfaatkannya secara benar (safih). Sedangkan di Q.s. al-Ahzab/33: 32, qaul ma'ruf disebutkan dalam konteks istri-istri Nabi Saw.
Kata ma'ruf disebutkan di dalam al-Qur'an sebanyak 38 kali, yang bisa diperinci sebagai berikut
Terkait dengan tebusan dalam masalah pembunuhan setelah mendapatkan pemaafan terkait dengan wasiyat
Terkait dengan persoalan thalaq, nafkah, mahar, 'iddah, pergaulan suami-istri
Terkait dengan dakwah
Terkait dengan pengelolaan harta anak yatim
Terkait dengan pembicaraan atau ucapan
Terkait dengan ketaatan kepada Allah da Rasul-Nya
Menurut al-Ishfahani, term ma'ruf menyangkut segala bentuk perbuatan yang dinilai baik oleh akal dan syara'.[25] Dari sinilah kemudian muncul pengertian bahwa ma'ruf adalah kebaikan yang bersifat lokal. Sebab, jika akal dijadikan sebagai dasar pertimbangan dari setiap kebaikan yang muncul, maka tidak akan sama dari masing-masing daerah dan lokasi.
Misalnya dalam kasus pembagian warisan, dimana saat itu juga hadir beberapa kerabat yang ternyata tidak memperoleh bagian warisan, juga orang-orang miskin dan anak-anak yatim, oleh al-Qur'an diperintahkan agar berkata kepada mereka dengan perkataan yang ma'ruf. Hal ini sangatlah tepat, karena perkataan baik tidak bias diformulasikan secara pasti, karena hanya akan membatasi dari apa yang dikehandaki oleh al-Qur'an. Di samping itu, juga akan terkait dengan budaya dan adat istiadat yang berlaku di masing-masing daerah. Boleh jadi, suatu perkataan dianggap ma'ruf oleh suatu daerah, ternyata tidak ma'ruf bagi daerah lain. Begitu juga, dalam kasus-kasus lain sebagaimana yang diungkapkan oleh al-Qur'an, seperti meminang wanita yang sudah habis masa 'iddahnya, menasehati istri, memberi pengertian kepada anak yatim menyangktu pengelolaan hartanya. Sementara menurut Ibn 'Asyur, qaul ma'ruf adalah perkataan baik yang melegakan dan menyenangkan lawan bicaranya.[26]
Dalam beberapa konteks al-Razi menjelaskan, bahwa qaul ma'ruf adalah perkataan yang baik, yang menancap ke dalam jiwa, sehingga yang diajak bicara tidak merasa dianggap bodoh (safih);[27] perkataan yang mengandung penyesalan ketika tidak bisa memberi atau membantu;[28] Perkataan yang tidak menyakitkan dan yang sudah dikenal sebagai perkataan yang baik.[29]
e. Prinsip Qaul layyin
Di dalam al-Qur'an hanya ditemukan sekali saja, Q.s. Thaha/ 20: 44:
اذهبا الى فرعون انه طغى. فقولا له قولا لينا لعله يتذكر او يخشى (طه/20: 43-44)
"Pergilah kamu bedua kepada Fir'aun, sesungguhnya dia benar-benar telah melampaui batas; maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir'aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut." (Q.s. Thaha/20: 43-44)
Ayat ini memaparkan kisah nabi Musa dan Harun ketika diperintahkan untuk menghadapi Fir'aun, yaitu agar keduanya berkata kepada Fir'aun dengan perkataan yang layyin. Asal makna layyin adalah lembut atau gemulai, yang pada mulanya digunakan untuk menunjuk gerakan tubuh. Kemudian kata ini dipinjam (isti'arah) untuk menunjukkan perkataan yang lembut.[30] Sementara yang dimaksud dengan qaul layyin adalah perkataan yang mengandung anjuran, ajakan, pemberian contoh, di mana si pembicara berusaha meyakinkan pihak lain bahwa apa yang disampaikan adalah benar dan rasional, dengan tidak bermaksud merendahkan pendapat atau pandangan orang yang diajak bicara tersebut. Dengan demikian, qaul layyin adalah salah satu metode dakwah, karena tujuan utama dakwah adalah mengajak orang lain kepada kebenaran, bukan untuk memaksa dan unjuk kekuatan.[31]
Ada hal yang menarik untuk dikritisi, misalnya, kenapa Musa harus berkata lembut padahal Fir'aun adalah tokoh yang sangat jahat. Menurut al-Razi, ad dua alasan, pertama, sebab Musa pernah dididik dan ditanggung kehidupannya semasa bayi sampai dewasa. Hal ini, merupakan pendidikan bagi setiap orang, yakni bagaimana seharusnya bersikap kepada orang yang telah berjasa besar dalam hidupnya; kedua, biasanya seorang penguasa yang zalim itu cenderung bersikap lebih kasar dan kejam jika diperlakukan secara kasar dan dirasa tidak menghormatinya.[33]
f. Prinsip Qaul sadid
Di dalam al-Qur'an qaul sadid disebutkan dua kali, pertama, Q.s. an-Nisa'/4: 9:
وليخش الذين لو تركوا من خلفهم ذرية ضعافا خافوا عليهم فليتقوا الله و ليقولوا قولا سديدا (النساء/4: 9)
"Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir atas (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar." (Q.s. al-Nisa'/4: 9)
Ayat ini turun dalam kasus seseorang yang mau meninggal bermaksud mewasiyatkan seluruh kekayaan kepada orang lain, padahal anak-anaknya masih membutuhkan harta tersebut. Dalam kasus ini, perkataan yang harus disampaikan kepadanya harus tepat dan argumentatif. Inilah makna qaul sadīd. Misalnya, dengan perkatan, "bahwa anak-anakmu adalah yang paling berhak atas hartamu ini. Jika seluruhnya kamu wasiyatkan, bagaimana dengan nasib anak-anakmu kelak." Melalui ayat ini juga, Allah ingin mengingatkan kepada setiap orang tua hendaknya mempersiapkan masa depan anak-anaknya dengan sebaik-baiknya agar tidak hidup terlantar yang justru akan menjadi beban orang lain.
Dan kedua, Q.s. al-Ahzab/33: 70
يايهاالذين امنوا اتقوا الله و قولوا قولا سديدا (الاحزاب/33: 70)
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar. (Q.s. al-ahzab/33: 70)
Ayat ini diawali dengan seruan kepada orang-orang beriman. Hal ini menunjukkan bahwa salah satu konsekwensi keimanan adalah berkata dengan perkataan yang sadīd. Atau dengan istilah lain, qaul sadīd menduduki posisi yang cukup penting dalam konteks kualitas keimanan dan ketaqwaan seseorang. Sementara berkaitan dengan qaul sadid, terdapat banyak penafsiran, antara lain, perkataan yang jujur dan tepat sasaran.[35] perkataan yang lembut dan mengandung pemuliaan bagi pihak lain,[36] pembicaraan yang tepat sasaran dan logis,[37] perkataan yang tidak menyakitkan pihak lain,[38] perkataan yang memiliki kesesuaian antara yang diucapkan dengan apa yang ada di dalam hatinya.[39]
g. Prinsip Qaul Zur
Di dalam al-Qur'an, qaul zur hanya ditemukan sekali, Q.s. al-Hajj: 30:
ذلك ومن يعظم حرمات الله فهو خير له عند ربه, و احلت لكم الانعام الا ما يتلى عليكم فاجتنبوا الرجس من الاوثان و اجتنبوا قول الزور (الحج/22: 30)
"Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan apa yang terhormat di sisi Allah (hurumāt) maka itu lebih baik baginya di sisi Tuhannya. Dan dihalalkan bagi kamu semua hewan ternak, kecuali yang diterangkan kepadamu (keharamannya), maka jauhilah olehmu (penyembahan) berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan dusta. (Q.s. al-Hajj/22: 30)
Ayat ini dapat dipahami, bahwa ketika seseorang mengagungkan masya'ir haram dan memakan binatang yang dihalalkan, akan tetapi tidak menjauhi syirik dan perkataan dusta (zūr), maka pengagungan tersebut tidak memiliki dampak spiritual apapun bagi dirinya. Atau juga bisa dipahami bahwa perkataan dusta (zur) hakikatnya sama dengan menyembah berhala, dalam hal sama-sama mengikuti hawa nafsu. Atau lebih konkritnya, sama-sama menuhankan hawa nafsu.
Asal makna kata zūr adalah menyimpang/melenceng (mā`il). Perkataan zūr dimaknai kizb (dusta), karena menyimpang/melenceng dari yang semestinya atau yang dituju.[40] Qaul zūr juga ditafsirkan mengharamkan yang halal atau sebaliknya; serta saksi palsu. Rasulullah saw, sebagaimana dikutip oleh al-Razi, bersabda , "saksi palsu itu sebanding syirik.[41] Menurut al-Qurthubi, ayat ini mengandung ancaman bagi yang memberikan saksi dan sumpah palsu. Ia termasuk salah satu dosa besar,[42] bahkan termasuk tindak pidana.[43]
Membangun Komunikasi Beradab
Unsur yang terpenting di dalam komunikasi adalah komunikator, komunike, dan komunikan. Namun, ada hal di luar dari ketiga unsur ini ini, yaitu teknik atau cara. Bahkan, dalam beberapa kasus, seringkali cara lebih penting dari pada isi, sebagaimana dalam ungkapan Arab : الطريقة اهم من المادة "Cara lebih penting dari pada isi". Tentu saja, pernyataan ini masih bisa diperdebatkan; namun, yang perlu ditegaskan di sini adalah bahwa cara penyampaian (berkomunikasi) terkadang, atau bahkan, seringkali lebih penting dari isi. Dalam hal ini, bisa digambarkan melalui sebuah kasus. Ada seorang anak muda yang baru belajar agama. Di antara materi yang pernah didengar atau diterima adalah bahwa "setiap muslim harus berani berkata benar meskipun pahit". Setelah mendengar nasehat ini, yang tergambar pertama kali di benaknya adalah orang tuanya yang seringkali meninggalkan shalat atau bahkan tidak pernah shalat. Kemudian si anak muda tersebut, dengan maksud menasehati orang tuanya, menemui orang tuanya lalu berkata kepadanyan, "Pak...apa bapak gak takut masuk neraka, kok sampai setua ini bapak gak pernah shalat sih...". Pernyataan ini benar, tetapi rangkaian kata yang disampaikan cenderung meremehkan pihak lain, terlebih ia adalah orang tuanya sendiri atau orang yang usianya jauh lebih tua. Belum lagi, jika hal itu disampaikan dengan intonasi yang meninggi. Ini adalah contoh sederhana dari komunikasi yang tidak beradab.
Dengan demikian, komunikasi beradab, pada prinsipnya, merupakan suatu proses untuk mengkomunikasi kebenaran dan membangun hubungan sosial dengan komunikannya atau bermetakomunikasi. Sebab, miskomunikasi hanya akan menjadikan berpalingnya komunikan, yang berarti hilang pula informasi kebenaran itu. Inilah yang ditegaskan oleh al-Qur`an: "Maka disebabkan rahmat Allah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu..."(QS. Ali ‘Imran/3: 159)
Ayat ini secara khusus ditujukan Rasulullah saw, namun, secara umum, adalah dimaksud untuk mendidik umatnya, bagaimana car amenyikapi orang yang menolak kebenaran yang disampaikan kepadanya sebagai upaya untuk membangun sebuah komunikasi yang baik itu, yaitu dengan bersikap lembut dan santun, serta bertutur kata yang baik.[44]
Hanya saja, ayat ini juga memunculkan pertanyaan, apakah Rasulullah mendapatkan rahmat sehingga bersikap lemah lembut? Atau apakah Rasulullah bersikap lemah lembut, sehingga beliau memperoleh rahmat? Ayat di atas memang bisa dipahami secara berbalik, pertama, sebab rahmat Allah lah, Rasulullah saw bisa bersikap lemah lembut. Namun, pemahaman semacam ini akan menafikan suatu kenyataan bahwa Rasulullah adalah sosok yang berakhlaq sangat mulia. Bahkan, jauh sebelum turunnya ayat ini atau sebelum diangkat jadi Rasul. Oleh karena itu, penulis lebih cenderung memahami ayat tersebut dengan pemahaman kedua, yaitu bahwa rahmat dan keluhuran akhlaq menyatu secara berkelindan. Artinya, rahmat Allah tidak akan diberikan kepada hamba-Nya yang memang tidak layak untuk mendapatkannya.
Dengan demikian, ayat ini seharusnya dipandang sebagai bentuk penghargaan Allah kepada Rasulullah saw. Hasan al-Bashri berkata, "Ini merupakan akhlaq Rasulullah saw yang diutus oleh Allah untuk mendidik umatnya.[45] Sebagaimana yang kita ketahui bersama, bahwa Rasulullah menyandang dua predikat sekaligus, yaitu pemimpin agama dan pemimpin negara. Sebagai pemimpin agama, beliau telah berhasil mengkomunikasikan ajaran-ajaran Ilahi dengan cara yang sangat indah, terutama sekali yang terkait dengan ajaran-ajaran yang memiliki tingkat sensisifitas yang tinggi di kalangan masyarakat.[46] Sedangkan sebagai pemimpin negara, beliau telah berhasil membangun sebuah negara, yang didasarkan pada politik kesejahtaraan bukan politik kekuasaan. Dalam hal ini, beliau telah mengajarkan kepada umatnya bahwa kemampuan bermetakomunikasi secara tepat bukan saja untuk berkomunikasi yang berhasil, tetapi juga erat kaitannya dengan kesadaran diri sendiri dan orang lain.
Secara umum, upaya pembangunan komunikasi beradab bisa diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Komunikasi dan Pendidikan
Dalam konteks komunikasi beradab, pendidikan dalam hal lebih ditekankan kepada pendidikan berbasis karakter atau akhlaq. Sebuah pembangunan karakter (character building) tidak identik dengan transfer ilmu. Sehingga di dalam Islam diperkenalkan dengan isitilah tarbiyah yang berasal dari rabbā-yurabbī-tarbiyatan yang didefinisikan oleh al-Ishfahani, yaitu mendorong dan mengawal pihak lain menuju kepada kesempurnaannya.
Dengan mengacu pengertian tersebut, maka pendidikan bukanlah bersifat indokrinasi atau propaganda, akan tetapi, suatu proses yang bersifat komunikatif. Dalam hal ini, bisa digunakan prinsip-prinsip qaul maisūr, yaitu segala bentuk perkataan yang baik, lembut, dan melegakan; menjawab dengan cara yang sangat baik, benar dan tidak mengada-ada; mengucapkan dengan cara yang wajar. Semakin bertambah umur, maka metode yang digunakan tentu saja berbeda ketika masih anak-anak. Namun, secara prinsip tetap sama, yaitu melahirkan generasi yang berkaraker. Misalnya, pada saat sudah dewasa, maka yang diterapkan adalah prinsip-prinsip qaul sadīd, yang di antaranya adalah tepat sasaran dan logis, memiliki kesesuaian antara apa yang ada di dalam hati dengan yang diucapkan.
Di sini proses komunikasi pendidikan tidak hanya dipahami sebagai proses transfer pengetahuan yang bersifat satu arah; akan tetapi, harus ada upaya yang sungguh-sungguh dari pihak pendidik/ guru, sebagai komunikator, untuk mampu memberikan keteladan yang baik, sebagai upaya bermetakomunikasi. Juga kedua orang tuanya sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya. Bahkan, secara naluriah, seorang anak sangat senang dan bangga jika bisa meneladani kedua orang tuanya. Ketidak sempurnaan proses komunikasi pendidikan terjadi, misalnya hanya mengajarkan pelajaran-pelajaran yang berbasis kompetensi tetapi tidak menanamkan nilai-nilai berbasis karakter atau akhlaq. Bahkan, hal ini bisa dianggap sebagai bentuk kriminalitas pendidikan. Faktor kegagalan guru/orang tua dalam proses pendidikan, antara lain, disebabkan kegagalan membangun komunikasi yang beradab tersebut.
b. Komunikasi dan Masyarakat
Masyarakat adalah orang kebanyakan, yang secara sosial dan pendidikan biasanya rendah dan lemah. Sehingga, masyarakat merupakan suatu kelompok manusia yang paling mudah untuk dipengaruhi dan diprovokasi. Oleh karena itu, dalam konteks membangun hubungan masyarakat ini, seharusnya menerapkan prinsip-prinsip qaul balīgh, yaitu bahasanya tepat, sesuai dengan yang dikehendaki,dan isi perkataan adalah suatu kebenaran, bukan semata-mata bersifat profokatif dan manipulatif. Di sinilah, keluhuran akhlak si komunikator menjadi sangat penting, dalam konteks membangun hubungan sosial maupun politik. Sebab, pengetahuannya tentang khalayak tidak dimaksudkan untuk menipu dan memprovokasi. Akan tetapi untuk memahami, bernegosiasi, serta bersama-sama saling memuliakan kemanusiaannya.
Tidak bisa dibayangkan, bagaimana seandainya jiwa dan karakter sang komunikator itu tidak baik, seperti ambisius, serakah, dan lain-lain, maka kemampuan retorika dan logikanya justru akan dijadikan sebagai alat untuk mempengaruhi bahkan mencuci otak masyarakatnya demi memenuhi ambisinya, melanggengkan pengaruh dan kekuasaanya. Dalam hal ini, bisa dilihat pada kasus Fir'aun: "Dan Fir'aun berkata, "Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetaui tuhan bagimu selain aku..."Melalui kata-katanya ini Fir'aun ingin mempengarui pikiran dan jiwa mereka, bahwa ia memang layak diposisikan sebagai tuhan, karena pada kenyataannya hanya dialah yang bias menjamin tingkat kelayakan hidup rakyat Mesir saat itu. Fir'aun paham betul dengan apa yang diinginkan oleh rakyat Mesir, yaitu hidup sejahtera, layak, terpenuhinya seluruh kebutuhan hidupnya. Ia berusaha untuk memperoleh dukungan seluas-luasnya, bukan sekedar untuk memantapkan posisinya sebagai penguasa tanpa tanding, sekaligus utuk menjatuhkan lawan politiknya, Musa as.
c. Komunikasi dan Dakwah
Inti dakwah adalah mengajak orang lain untuk mengikuti apa yang diserukannya. Oleh karenanya, kemampuan berkomunikasi dan bermetakomunikasi dengan baik adalah menduduki posisi yang cukup strategis. Demikian itu, karena Islam memandang bahwa setiap muslim adalah da'i. Sebagai da'i, ia seantiasa dituntut untuk mau dan mampu mengkomunikasikan ajaran-ajaran Ilahi secara baik. Sebab, kesalahan dalam mengkomunikasikan ajaran Islam, justru akan membawa akibat yang cukup serius dalam perkembangan dakwah Islam itu sendiri.
Dalam firman Allah dinyatakan: "Hendaklah ada di antara kamu, suatu umat yang selalu mengajak kepada kebaikan, menyeru kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar " (QS. Ali ‘Imran/3: 104). Ayat tersebut memberi arahan kepada setiap anggota masyarakat, terutama umat muslim, agar selalu mengajak kepada kebaikan (al-khair), memerintahkan dengan ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar. Tentu saja, bukan tanpa sengaja jika ayat ini mendahulukan, da'wah ilā al-khair dari pada al-amr bil-ma'ruf. Meskipun dari sisi penerjemahan keduanya bisa saja memiliki arti yang sama, yaitu 'kebaikan', namun oleh para ahli tafsir, kata al-khair dipahami sebagai kebaikan yang bersifat universal, seperti keadilan, kejujuran, kepedulian sosial, dan lain-lain. Artinya, konsep ini juga harus dipandang sebagai konsep universal. Dengan demikian, mengajak kepada al-khair, sebenarnya juga menjadi concern bagi agama-agama di luar Islam. Sebab, setiap agama selalu menghendaki terciptanya kehidupan yang harmonis, aman, tentram, saling menghormati sesama, dan sebagainya. Oleh karena itu, sebagai bagian dari masyarakat, mereka harus memiliki komitmen yang sama untuk peduli terhadap segala bentuk prilaku-prilaku anti sosial yang terjadi di masyarakatnya. Dalam hal ini, umat muslim harus senantiasa tampil yang terdepan untuk menyeru atau mengkomunikasikan, sekaligus memberi keteladanan.
Dengan demikian, tegaknya nilai-nilai hubungan sosial yang luhur adalah sebagai kelanjutan dari tegaknya nilai-nilai keadaban itu. Artinya, masing-masing pribadi atau kelompok, dalam suatu lingkungan sosial yang lebih luas, memiliki kesediaan memandang yang lain dengan penghargaan, betapapun perbedaan yang ada, tanpa saling memaksakan kehendak, pendapat, atau pandangan sendiri. Masyarakat semacam ini pernah dibangun oleh Rasulullah saw sewaktu berada di Madinah; dan ini merupakan bukti konkrit dari keberhasilan dakwah beliau. Keberhasilan ini tentu saja suatu prestasi yang luar biasa yang tidak bisa begitu saja dipandang dari sisi kebenaran Islam dan keagungan al-Qur'an semata. Akan tetapi, ada faktor lain yang dianggap cukup dominan dalam konteks dakwah dan pembangunan masyarakat Madinah ini, yaitu kemampuan beliau dalam mengkomunikasikan ajaran-ajaran Ilahi tersebut dengan baik dan persuasif, yang ditopang oleh keluhuran budi pekerti beliau sendiri. Jika kita telusuri sirah (sejarah) Nabi, maka akan dijumpai betapa beliau telah menerapkan seluruh prinsip-prinsip komunikasi dalam al-Qur'an, sebgaimana diuraikan, secara konsisten
Sabtu, 05 Februari 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar